Tuesday, June 7, 2016

Materi Tematik | Fiqih Ramadhan (Bagian 7)

FIQIH RAMADHAN (BAG. 7)
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh, saya akan membahas tentang fiqih dan ini bahas atau saya ambil dari bukunya Syaikh Muhammad bin Shālih Al Utsaimin rahimahullāh, "Majālis Syahri Ramadhān"

Dalam kitab tersebut pada المجلس العاشر (pertemuan ke 10) beliau mangatakan

في آداب الصيام الواجبة

"Tentang adab- adab yang hukumnya wajib dikerjakan oleh orang yang berpuasa."

Adab itu ada yang sifatnya sunnah ada juga yang sifatnya wajib.


Adab yang wajib dikerjakan orang yang berpuasa:

*(2) Yang kedua | Tinggalkan Dusta*

Karena orang yang berpuasa kalau dusta sebagian ulamā mengatakan puasanya batal tidak ada pahalanya.

Dusta itu di luar bulan puasa saja dosa besar apalagi di bulan puasa.

Jangan berdusta baik di luar bulan Ramadhān terlebih di dalam bulan Ramadhān.

كونوا مع الصادقين

"Berlakulah anda, kumpulah anda bersama orang-orang yang jujur."

Sekarang harus kita praktekan, kalau jujur pasti mujur.

Jadi, jangan berdusta di dalam bulan Ramadhān.

Termasuk berdusta yang berbahaya adalah dusta atas nama Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Mubaliqh, Ustadz, hati-hati, tidak boleh berdusta. Lebih-lebih di bulan Ramadhān.

Kenapa (saya katakan demikian)?

Sebagaimana (telah banyak beredar) kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, bahwasanya, "10 hari pertama Ramadhān rahmat, pertengahannya maghfirah, akhirnya 'Itqun minannār (pembebasan dari api neraka)."

*Itu hadīts dha'if.*

Tapi bukan berarti Ramadhān itu tidak ada rahmatnya, tidak ada maghfirahnya, bukan berarti tidak   'Itqun minannār (pembebasan dari api neraka).

'Itqun min annār itu sepanjang malam bulan Ramadhān,

"Wadzalika kula lailah...," pembebasan dari api neraka itu setiap malam, kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Hadīts dha'if itu tidak bisa di nisbatkan kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini Ustadz kita mengatakan jangan dusta, dusta itu dosa besar, lebih-lebih di bulan Ramadhān, bulan yang penuh rahmat seperti sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Berarti dia dusta atau tidak? Dusta.

Dusta atas nama siapa?

Dusta atas nama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini dosanya besar, bertumpuk-tumpuk karena kalau dusta atas nama seseorang saja, misal nya:

"Eh, Pak Fulān tadi mengatakan begitu," padahal tidak.

Ini dusta atu tidak? "Dusta". Besar tidak? "Besar", karena memfitnah orang.

Ini yang di fitnah, dikatakan telah berkata begini-begini bukan orang biasa, tapi Rasūl shallallāhu 'alayhi wa sallam, dan diancam oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat untuknya di dalam Neraka."

(Hadist riwayat Bukhāri nomor 104, versi Fathul Bari nomor 107)

Jadi, kalau mau menyampaikan hadīts, maka sampaikanlah hadīts-hadits yang shahīh-shahīh saja.

Bagaimana cara mengetahui hadīts-hadits ini shahīh atau tidak?

Sekarang māsyā Allāh, internet itu faedahnya luar biasa, anda yang bisa berbahasa arab tinggal ketik hadīts apa saja kemudian tahu hukumnya hadīts itu.

Anda yang tidak bisa berbahasa Arab bisa ditulis terjemahannya hukum hadīts ini, nanti akan keluar, kedudukan hadīts tersebut.

Jadi, māsyā Allāh, sekarang dimudahkan.

Maka, untuk berceramah itu cukup dengan hadīts-hadits yang shahīh saja.

*(3) Yang ketiga | Tinggalkan Ghībah.*

Ibu-ibu, māsyā Allāh, menjelang berbuka ada tukang sayur kemudian ngobrol:

"Bukanya pakai apa?"

"Ikan asin dengan kangkung."

"Ooh, tiap hari ikan asin sama kangkung?"

"Iya, itulah suami saya. Ih, enak bener."

"Kalau suami saya tiap hari lauknya harus berubah, sekarang ikan, besok telur, besok kambing, besok sapi, terus berubah."

Tadinya memuji suami, akhirnya ikut ghībah suami orang.

Hati-hati !

Kalau dikerjakan dibulan Ramadhān dosanya semakin besar. Sebagian ulamā mengatakan puasanya tidak akan diterima, Allāhu musta'an.

Mudah-mudahan Allāh melindungi kita.


*(4) Yang keempat | Tinggalkan Namimah*

Tinggalkan adu domba.

Misalnya:

Sama sama panitia ta'jil, Subhānallāh:

"Eh, kata Si Fulān demikian loh."

"Kamu takjilnya cuma bisa ni."

"Kata ini begini!"

 Akhirnya kerengan (ribut).

Ini namanya mengadu domba, namimah.

Namimah itu menukil perkataan dengan tujuan merusak hubungan.

Hati-hati, apalagi yang dirusak itu hubungan suami istri, ini di bulan puasa tidak boleh demikian, juga di bulan yang lain.

Sebagian orang bisa melakukan amalan ibadah dengan meninggalkan perkara-perkara yang halal (karena berpuasa) tapi mereka sulit untuk meninggalkan perkara-perkara yang harām.

Contohnya yang halal makan dan minum.

Tapi yang harām, baik itu di luar bulan Ramadhān atau di dalam bulan Ramadhān sama-sama tidak boleh, bahkan di bulan Ramadhān lebih lagi.

Maka sungguh aneh kalau ada orang bisa meninggalkan sesuatu yang halal tapi dia tidak bisa meninggalkan sesuatu yang harām.

Lalu, paling aman bagaimana Ustadz bila bulan Ramadhān?

Paling aman, perbanyak hubungan kita dengan Allāh.

Orang kalau sudah memperbanyak hubungan dengan Allāh berarti hubungan dengan manusia bagaimana? Berkurang, jadi kesempatan untuk berbuat maksiat itu akan semakin berkurang, mumpung bulan Ramadhān.

Lho Ustadz, katanya kalau beribadah harus sepanjang hari sepanjang tahun, lah ini Ramadhān koq saja?

Tidak apa-apa, ulamā juga begitu mereka tambah semanggat di bulan Ramadhān dibandingkan di luar bulan Ramadhān.

Kalau mungkin biasanya di luar bulan Ramadhān khatamnya sebulan sekali, ini sebagian ulamā, walaupun ini ijtihad mereka, ada yang mengkhatamkan Al Qurān sehari dua kali, ada yang mungkin mereka sepuluh hari sekali.

Maka, silahkan mumpung bulan Ramadhān, semanggat sebagaimana para ulamā juga dulu semanggat.

Kita tingkatkan hubungan kita dengan Allāh, sehingga kita tersibukan dan terkurangi hubungan kita dengan manusia.

Bukan melupakan, karena kita masih butuh hubungan dengan istri, ngemong anak, sang istri butuh dengan suaminya, suami membutuhkan dia, anak-anak membutuhkan dia, tetangga membutuhkan dia, tapi yang seperti itu di kurangi.

Dulu para ulamā kalau sudah masuk bulan Ramadhān tdak ngaji, pengajian-pengajian tutup kemudian baca Al Qurān.

Bukan berarti majelis ilmu adalah majelis yang jelek, tidak ! Mereka melihat kesempatannya adalah untuk sebanyak-banyaknya membaca Al Qurān.

[insyā Allāh, bersambung ke bagian 8]
___________________________



🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 02 Ramadhān 1437 H / 07 Juni 2016 M
👤 Ustadz Zaid Susanto, Lc
📔 Materi Tematik | Fiqih Ramadhan (Bagian 7)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-Tmk-Ramadhan1437-UZS-07
📺 Video Source: https://youtu.be/znboM6piFTk
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment