Monday, June 27, 2016

Materi Tematik | Tuntunan Zakat Fithri (Bagian 3)

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI (BAGIAN 3)
klik link sumber

TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA

Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun dengan uang!

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah membolehkannya”. [Syarah Muslim].

Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” – Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna lainnya”.


[al Wajiiz, 230-231].
[Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimin, al Fauzan, ‘Abdullah al Jibrin].

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang”.

[Minhajul Muslim, halaman 231].

WAKTU MENGELUARKAN

Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:

1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar ‘Idul Fithri.

[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76]

2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat fithri, yaitu fajar hari ‘Id, dengan kesepakatan empat madzhab.

[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/80]


3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak bernilai sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ


“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”.

[HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat : [Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/75]

– Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : “Boleh maju setahun atau dua tahun”.
– Malik rahimahullah berpendapat : “Tidak boleh maju”.
– Syafi’iyah berpendapat : “Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan”.
– Hanabilah : “Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id”.

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm.

Nafi’ berkata:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dan Ibnu ‘Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri”. [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].

YANG BERHAK MENERIMA

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.

1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.

Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.

[Ikhtiyarat, 2/412-413]

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.

Asy Syaukani rahimahullah berkata,”Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallāhu 'alayhi wa sallam ‘Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima,’ dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan zakat fithri.

Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain.”

[Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M]

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Tempat pembagian shadaqah fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi, orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada bagian-bagian yang lain.

Berdasarkan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  ‘Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!’ Maka zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka”.

[Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul ‘Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74]

3. Hanya orang miskin.

Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.

[Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413]

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, wallahu a’lam.

3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ

“(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.

[Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78]

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit.

Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

PANITIA ZAKAT FITHRI?

Termasuk Sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  yaitu adanya orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan yang menunjukkan hal ini.

[Sifat Shaum Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  fii Ramadhan, halaman 106]

1. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].

2. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat untuk kita. Wallahu a’lam.

Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  fi Ramadhan, hlm: 101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 22 Ramadhan 1437 H / 27 Juni 2016 M
👤 Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
📔 Materi Tematik | Tuntunan Zakat Fithri (Bagian 3)
🌐 Sumber Artikel : https://almanhaj.or.id/3966-tuntunan-zakat-fithri.html
----------------------------------

No comments:

Post a Comment