Tuesday, January 16, 2018

Hadits Kedua | Faedah Hadits Jibril (Bagian 02 dari 05)

HADĪTS KEDUA ARBA'IN NAWAWI - FAEDAH-FAEDAH (BAGIAN 2 DARI 5)
klik link audio

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم  صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه


Kita melanjutkan pembahasan faedah-faedah yang bisa diambil dari hadīts Jibrīl.

Pembahasan berikutnya yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah definisi imān.

Tatkala dikatakan imān, maksudnya juga Islām. Karena sekarang saya bicara konteks imān tersendiri.

⇒ Jadi imān sama dengan Islām.

Apa itu imān?



Dan ini disebutkan oleh para salaf, keimānan kata Al Imām Ahmad rahimahullāh:

الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص

"Bahwasannya imān adalah perkataan dan perbuatan bertambah dan berkurang."

Kemudian Al Imām Syāfi'i rahimahullāh pernah berkata:

وَكَانَ الْإِجْمَاعُ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ مِن بَعْدِهِم مِّمَّنْ أَدْرَكْنَاهُمْ : أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ، لَّا يُجْزِئُ وَاحِدٌ مِّنَ الثَّلَاثَةِ إِلَّا بِالْآخَرِ.
 
"Ijmā' dari para shahābat dan juga dari para tābi'in yang kami temui, bahwasannya imān itu adalah perkataan dan amal perbuatan serta niat (yaitu amalan hati) dan tidak sah salah satunya kecuali bergabung dengan yang lainnya."

Dari sini dan banyak perkataan salaf tentang hal ini, bahwasannya imān menurut ahlus sunnah wal jama'ah , terdiri atas 3 perkara, yaitu:

⑴ Amalan perkataan.
⑵ Amalan perbuatan.
⑶ Amalan hati.

⇒ Semuanya disebut dengan imān.

Jadi imān itu ada yang namanya amalan hati, kemudian ada namanya amalan perkataan dan juga ada amalan perbuatan.

Dalīlnya akan hal ini banyak. Di antaranya seperti sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadīts yang shahīh:

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

"Bahwasannya imān (atau Islām) itu ada 70 sekian cabang (sekarang saya katakan imān berarti sama dengan Islām)

⇒ bidh'ah itu dalam bahasa Arab adalah beberapa artinya. Jadi imān ada 70 sekian.

Cabang yang paling tinggi adalah: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ dan yang paling rendah yaitu:  إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ (menghilangkan gangguan dari jalan)."

Ini semua imān, jika ini dilakukan akan dapat pahala seluruhnya.

Kemudian kata Nabi:

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

"Dan rasa malu merupakan cabang dari cabang-cabang keimānan."

Perhatikan di sini, لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ, ini adalah perkataan berarti perkataan termasuk keimānan. Dan banyak keimānan yang berkaitan dengan perkataan, seperti dzikir.

Kemudian menghilangkan gangguan dari jalan, ini adalah perbuatan.

Kemudian rasa malu adalah amalan hati.

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

"Bahwasannya rasa malu merupakan cabang dari keimānan."

Ini dalīl bahwasannya perkataan, amalan hati, amalan perbuatan tubuh juga merupakan keimānan.

Dan ada 70 sekian cabang keimānan dan ini diantara 3 (tiga) yang disebutkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Oleh karenanya para ulamā tatkala membaca hadīts ini, ada 2 (dua) pendapat:

⑴ Pendapat sebagian ulamā mengatakan, maksud Nabi 70 sekian, artinya cabang keimānan itu banyak.

Karena kalau kita mau hitung, namanya dzikir saja banyak jenisnya. Amalan juga banyak (seperti) shalāt, haji, puasa, ini juga amalan.

Kalau kita bicara amalan hati juga banyak (seperti) ada tawakkal, ada taubat, ada berharap, ada takut kepada Allāh, rasa malu. Ini semua amalan hati.

Sehingga mereka mengatakan, maksud Nabi 70, itu menunjukkan jumlah yang banyak.

Dan orang-orang Arab, sering menyebutkan angka 70 tapi maksudnya adalah banyak.

Contohnya dalam Al Qur'ān, Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengatakan kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam:

ٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةًۭ فَلَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَهُمْ ۚ

"Jika kau minta ampunan bagi mereka (orang-orang munāfiq) atau kau tidak minta ampunan bagi mereka, sama saja. Kalau kau minta ampunan bagi mereka 70 kali, Allāh tidak akan ampuni mereka."

(QS At Tawbah: 80)

70 (tujuh puluh) di sini maksudnya adalah sebanyak-banyak apapun, Allāh tidak akan ampuni. Sehingga sering orang Arab menggunakan kalimat angka 70 untuk menunjukkan jumlah yang banyak.

Contohnya dalam hadīts disebutkan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam didengar oleh shahābat bahwa sekali   Beliau duduk Beliau beristighfār 70 kali. Ternyata dalam riwayat yang lain 100 kali. Berarti 70 itu menunjukkan (maksudnya adalah) jumlah yang banyak.

Contohnya seperti sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

 اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: ( اَلْجَمَاعَةُ )

"Bahwasannya umat Yahūdi telah terpecah menjadi 71, umat Nashrāni telah terpecah menjadi 72 golongan, dan umat Islām akan terpecah menjadi 73 golongan. Seluruhnya di neraka kecuali satu.

Siapa mereka?

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (yaitu)  mereka yang mengikuti jalanku dan jalan para shahābatku."

(Hadīts riwayat Ibnu Mājah dan lafazh ini miliknya, dalam Kitābul Fitan, Bāb Iftirāqul Umam (no. 3992))

Kalimat 70 (tujuh puluh) ini, sebagian ulamā memahami bukan maksudnya angka 70 tetapi maksudnya akan timbul banyak khilāf, banyak firqah-firqah dalam Islām yang apabila kita hitung sekarang mungkin lebih dari 100 atau mungkin 200 (maksudnya)  adalah jumlah yang banyak.

Karenanya sebagian ulamā mengatakan, kata Nabi 70 sekian cabang maksudnya banyak. Ini pendapat sebagian ulamā.

⑵ Sebagian ulamā mengatakan, 70 sekian benar-benar maksudnya 70 sekian, sehingga mereka mulai menghitung cabang-cabang keimānan.

Kita dapati sebagian ulamā menulis buku tentang cabang-cabang keimānan.

Contohnya:

√ Al Halimi dari madzhab Syāfi'iyyah menulis buku Al Minhāj Fī Syu'abil Imān, ini disebutkan tentang cabang-cabang keimānan. Cabang pertama, cabang kedua, cabang ketiga, cabang keempat.

√ Al Baihaqi kitābnya Syu'abul Imān, bukunya tebal. Isinya tentang cabang-cabang keimānan dan penjelasannya. Cabang pertama, cabang kedua, cabang, ketiga, dan seterusnya cabang-cabang keimānan.

Mereka ingin mengumpulkan seluruh amalan-amalan yang disebut oleh Nabi dengan keimānan.

Intinya cabang-cabang keimānan banyak dan mencakup perkataan, perbuatan dan juga amalan hati.

Kemudian tadi kata Imām Ahmad:

الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص

"Bahwasannya imān perkataan dan perbuatan, naik dan turun."

Bagaimana maksudnya naik dan turun?

الإيمان يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية

"Imān naik dengan keta'atan dan imān turun dengan kemaksiatan."

Dan ini bisa kita rasakan, kalau kita bertaqwa kepada Allāh, kita shalāt, hadir di pengajian, kemudian kita baca Al Qur'ān kita merasakan imān kita, merasa kita dekat dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Bahkan terkadang kita rindu (karena merasa dekat), "Yā Allāh matikan saya." Terkadang timbul perkataan dalam hati kita, "Sudahlah kita meninggal saja."

Begitu kita pulang, turun imān kita, dengan penuh kemaksiatan akhirnya turun imān sedikit demi sedikit.

⇒ Ini di antara 'aqidah ahlussunnah bahwasannya imān bisa naik dan bisa turun.

Bahkan dalam satu amalan imān bisa bertingkat-tingkat.

Shalāt, tidak sama semua. Ada yang shalāt khusyu' ada yang shalāt kurang khusyu'.

Oleh karenanya Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menyebutkan bahwasannya bisa jadi dua orang, shalāt di satu shaf berdampingan, A dan B (misalnya) berdampingan, gerakan shalātnya sama, di masjid yang sama berdampingan, tetapi pahala antara keduanya antara langit dan bumi.

Satunya khusyu'nya luar biasa, satunya pikirannya menerawang kemana-mana.

Tidak sama dalam satu amalan, ahlul imān bisa berbeda-beda.

Contohnya tadi seperti kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

 إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

Menghilangkan gangguan dari jalan.

Orang mensikapi gangguan di jalan berbeda-beda, dari yang baik sampai yang buruk.

√ Ada lihat kaleng di jalan. Ada yang lihat saja. Naik motor lihat kaleng di jalan sedih dia, "Waduh, ini kalau ada yang nginjak gimana," tapi dia tidak turun untuk memindahkan untuk kaleng tersebut. Orang ini dapat pahala karena dia khawatir ada seorang muslim yang lain yang bisa terkena gangguan tersebut.

√ Ada yang tidak, dia lihat kaleng tersebut atau gangguan di jalan dia turun. Berhenti dari motornya dia hilangkan. Ini lebih tinggi imānnya daripada yang tadi sebelumnya.

√ Ada yang lihat kaleng di jalan senang-senang, "Oh, saya tunggu ada yang terkena kaleng tersebut."

Oleh karenanya dalam satu amalan orang bisa bertingkat-tingkat, tidak sama.

Inilah sekilas tentang 'aqidah ahlussunnah wal jama'ah bahwasannya imān itu terdiri atas perkataan, amalan hati dan perbuatan.

Contohnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا.......

"Sesungguhnya orang-orang yang berimān yang tatkala disebutkan nama-nama Allāh, maka akan tergetar hati-hati mereka dan ketika dibacakan ayat-ayat Allāh maka bertambah keimānan mereka dan kepada Rabb mereka bertawakkal. Dan mereka juga mendirikan shalāt dan juga memberikan nafkah dari rezeki yang mereka miliki. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar berimān ....."

(QS  Al Anfāl : 2-4)

⇒ Ini menunjukkan bahwasannya shalāt amalan badan juga merupakan imān.

Dalam ayat yang lain kata Allāh:

 وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

"Allāh tidak akan menyia-nyiakan imān kalian, (yaitu) shalāt kalian."

(QS Al Baqarah:143)

⇒ Ayat ini turun tatkala terjadi perubahan kiblat.

Kiblat, waktu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sallam ke Madīnah, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalātnya menghadap ke Baitul Maqdis (kalau di Madīnah menghadap ke Selatan), Baitul Maqdis kearah Utara.

Akhirnya setelah belasan bulan (sekitar 16 bulan kalau tidak salah) maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla merubah kiblat dari utara (Baitul Maqdis) menuju ke Ka'bah, sehingga timbul pertanyaan dari para shahābat.

Bagaimana dengan saudara-saudara ktia yang tadinya shalāt menghadap Baitul Maqdis, apakah shalāt mereka sia-sia?

Maka Allāh menjawab:

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

"Allāh tidak akan menyia-nyiakan imān mereka."

⇒ Maksud imān mereka adalah shalāt mereka.

Shalāt mereka yang tadinya menghadap Baitul Maqdis tetap bernilai di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini semua dalīl bahwasanya amalan tubuh juga merupakan keimānan.

Sampai di sini saja, apa yang bisa saya sampaikan.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 29 Rabi’ul Akhir 1439 H / 16 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Hadits Kedua | Faedah Hadits Jibril (Bagian 02 dari 05)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0208
----------------------------------- 

No comments:

Post a Comment