Saturday, July 29, 2017

Materi Tematik | Kajian Islam Intensif Tentang Manasik Haji Dan Umroh (Bag. 18 dari 30)

KAJIAN ISLAM INTENSIF TENTANG MANASIK HAJI DAN UMROH BAGIAN 18 DARI 30
klik link audio

بســـمے الله الرّحمنـ الرّحـيـمـے
الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته  


Alhamdulillāh, kita bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, shalawat dan salam semoga selalu Allāh berikan kepada Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, pada keluarga beliau, para shahābat serta orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat kelak.

Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ada permasalahan, yaitu ketika seseorang membawa anak kecil. Tentunya anak kecil ini tidak diwajibkan, tetapi sah hajinya.

Karena syarat bāligh kita katakan adalah syarat wajib.

Tidak wajib bagi orang yang belum bāligh untuk menunaikan ibadah haji, tetapi bila dia menunaikan ibadah haji, maka hajinya sah, tetapi belum jatuh padanya haji yang wajib.


Artinya, apabila dia sudah bāligh diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji lagi.

Apabila saya membawa anak saya yang belum bāligh bagaimana dia berihrām ?

Lihat keadaan anak itu, apabila dia mumayis yaitu bisa membeda mana yang benar mana yang salah maka kita bimbing dia untuk berihrām.

Dan kita juga dianjurkan untuk memerintahkan kepada dia mengerjakan hal-hal yang dianjurkan sebelum berihrām, seperti; mandi, membersihkan tubuhnya kemudian melakukan hal-hal yang dilakukan sebelum berihrām.

Baru setelah itu kita bimbing dia untuk melakukan ish’ar (mengucapkan syiar bahwasanya dia sudah masuk kedalam manasik haji dan 'umrah) dengan mengucapkan, "Labbaika hajjan wa umratan," atau "Labbaika hajjan," atau, "Labbaika umratan."

Adapun bila anak itu masih bayi, tidak bisa berbicara (misalkan), maka pada saat itu orang tuanya yang mengucapkan atasnya.

Inilah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan ihrām.

Pada saat seperti inilah si fulān sudah dinamakan muhrīm (sedang berihrām). k

Kalau sudah muhrīm maka yang dianjurkan mengucapkan talbiyyah.

Untuk laki-laki, diucapkan dengan suara yang keras dan terus menerus.

Apa dalīl yang menunjukkan bahwasanya diucapkan dengan suara yang keras?

Dalīlnya adalah hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Ibnu Mājah dari Zaid bin Khālid radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

 جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ

Telah datang kepadaku Jibrīl 'alayhissalām, kemudian Jibrīl 'alayhissalām berkata:

"Wahai Muhammad, perintahkan para shahābatmu untuk mengangkat suaranya dalam bertalbiyyah, sesungguhnya dia adalah syi’ar haji."

(HR Ibnu Majah nomor 2923)

Adapun untuk wanita maka para ulamā bersepakat sebagaimana disebutkan oleh seorang 'alim besar dari madzhab māliki, Ibnu Abdilbar, dalam kitābnya At Tarhib bersepakat bahwasanya seorang wanita termasuk sunnahnya tidak mengangkat suaranya dan tidak memperdengarkan kepada orang lain kecuali dirinya sendiri.

Coba perhatikan perkataan beliau:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ فِي الْمَرْأَةِ أَنْ لَا تَرْفَعَ صَوْتَهَا، وَإِنَّمَا عَلَيْهَا أَنْ تُسْمِعَ نَفْسَهَا

"Dan para ulamā bersepakat bahwasanya termasuk sunnah seorang wanita tidak mengangkat suaranya dalam talbiyyah dan tidak memperdengarkan kecuali kepada dirinya."

Talbiyyah memiliki keistimewaan-keistimewaan yang luar biasa, di antaranya:

⑴ Orang yang bertalbiyyah maka dia akan diberikan kabar gembira dengan surga (dan ini tidak didapatkan kecuali oleh orang-orang yang menunaikan ibadah haji).

Perhatikan hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu yang diriwayatkan oleh Imām Tabhrani dalam kitābnya Al Mu'jamul Ausath, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا أَهَلَّ مُهِلٌّ قَطُّ إِلا بُشِّرَ، وَلا كَبَّرَ مُكَبِّرٌ قَطُّ إِلا بُشِّرَ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، بِالْجَنَّةِ ؟ قَالَ: نَعَمْ

"Tidaklah orang yang bertalbiyyah dan bertakbir kecuali diberikan kabar gembira."

Para shahābat bertanya:

"Wahai Rasūlullāh, apakah diberikan kabar gembira dengan surga?"

Rasūlullāh Shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab, "Iya."

⑵ Amalan yang paling utama dan haji yang paling utama adalah dengan mengangkat suara dalam bertalbiyyah.

Dalam sebuah hadīts riwayat Imām At Tirmidzi dari Abū Bakar Ash Shidiq radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya:

أَىُّ الْحَجِّ أَفْضَلُ قَالَ " الْعَجُّ وَالثَّجُّ "

"Amalan haji apa yang paling utama ?"

RasūlullāhShallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab, “Al ’ajju watstsajju."

(HR Tirmidzi nomor 2998)

Al 'ajju artinya mengangkat suara dalam bertalbiyyah ketika berihrām dan ats tsajju adalah menyembelih hewan hadyu ketika mengerjakan haji Tamattu' atau haji Qirān.

Jika seseorang sudah berihrām maka disana ada larangan-larangan ihrām.

Maksud larangan ini adalah jika seorang dalam  keadaan berihrām maka dia dilarang untuk mengerjakan hal-hal berikut:

⑴. Mencukur rambutnya atau menggundul rambutnya dan seluruh rambut yang lain baik bulu ketiak ataupun bulu kemaluan, kumis apalagi janggut (dilarang).

Hal diberdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam surat Al Baqarah ayat 196:
 
 وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ

"Janganlah kalian mencukur rambut kepala kalian sampai hewan hadyu ketempatnya (tanggal 10 Dzulhijjah)."

Dalīl lain yang menunjukkan tentang hal ini adalah surat Al Hajj ayat 29:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُم

"Kemudian kerjakanlah tafatsahum."

Tafatsahum, para ulamā tafsir mengatakan adalah melempar jamarah kemudian mencukur rambut kemudian meletakkan ihrām.

Ini dilakukan bila sudah tanggal 10 Dzulhijjah.

Menunjukkan ketika berihrām tidak diperbolehkan mengerjakan hal itu.

⑵ Memotong kuku (baik kuku tangan maupun kuku kaki)

Dengan dalīl yaitu mengqiyaskan dengan rambut dengan dalīl surat Al Hajj ayat 29 di atas.

⑶ Menutup kepala bagi laki-laki.

Hal ini berdasarkan sebuah hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika ditanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنَ الثِّيَابِ فِي الإِحْرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم  " لاَ تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْعَمَائِمَ، وَلاَ الْبَرَانِسَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلاَنِ، فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ، وَلاَ الْوَرْسُ، وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ ".

"Yā Rasūlullāh, apa yang engkau perintahkan bagi kami untuk memakai pakaian di dalam keadaan berihrām?”

Rasūlullāh Shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:

"Janganlah kalian mengenakan baju, celana, ‘amāim, burnus, kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki, dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan."

(HR Bukhari nomor 1838)

‘Amāim adalah penutup kepala/surban, peci atau semisalnya dan burnus adalah pakaian gamis tetapi ada penutup kepalanya seperti pakaian orang-orang Maroko.

Tetapi bukan berarti untuk menutup kepala yang tidak melekat dan menempel dengan kepala dilarang. Tidak!

Diperbolehkan untuk menutup kepala atau menutupi tubuh kita dari panasnya terik matahari. Hal ini berdasarkan sebuah hadīts Ummul Husain radhiyallāhu Ta'āla 'anhā bercerita:

حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلاَلاً وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَالآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ يَسْتُرُهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ

"Aku pernah berhaji bersama Rasūlullāh dhallallāhu 'alayhi wa sallam pada haji wadā, aku melihat Usamah dan Bilāl radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā, salah satu dari mereka memegang tali pelana untanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang lain mengangkat kain untuk menutupi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dari panasnya terik matahari sampai beliau melempar jumrah 'Aqabah.”

(HR Muslim nomor 1298)

Artinya dari mulai Mudzalifah sampai ke Minā.

Menunjukkan bahwasanya yang menutupi kepala tetapi tidak melekat dan tidak menutup, seperti payung, kain yang kita tutupkan, atap bis, ini tidak mengapa.

Ada pertanyaan, di haji ada banyak debu, bolehkan kita memakai masker untuk menutupi wajah kita?

Jawabannya:

Tidak diperbolehkan, ini pendapat yang lebih hati-hati dan lebih kuat karena Rasūlullāh dhallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda kepada seorang shahābat yang ditendang sampai mati oleh untanya beliau mengatakan:

لاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ

"Janganlah kalian menutup kepalanya dan wajahnya."

(Hadīts riwayat Imām Muslim nomor 1206)

Kenapa?

Karena orang yang meninggal dalam keadaan ihrām dia dikuburkan dengan memakai kain ihrāmnya, tidak dikafankan seperti biasa tetapi memakai kain ihrāmnya dan nanti dia akan bangun dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan bertalbiyyah.

Subhānallāh, mudah-mudahan kita termasuk di dalamnya.

Adapun wanita mereka tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kedua kaos tangan.

Hal ini sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim.

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

"Seorang wanita yang dalam keadaan berihrām tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai kedua kaos tangan."

(HR muslim nomor 1838)

Kecuali jika mereka berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrāmnya maka para wanita tersebut menjulurkan kain dari atas kepalanya menutup wajahnya dan jika sudah tidak berhadapan lagi maka boleh dibuka kembali.

Sebagaimana yang dilakukan 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā dalam cerita beliau yang diriwayatkan oleh Imām Abū Dawūd, 'Āisyah bercerita:

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا إِلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

"Orang-orang yang menunggangi kendaraan mereka melewati kami, kami waktu itu bersama Rasūlullāh Shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam keadaan ihrām, jika orang-orang yang mengendarai kendaraan tersebut melewati kami, maka salah satu dari kami menutup dengan jilbab (kain) di atas wajahnya, kalau seandainya mereka sudah lewat jauh maka kami buka kembali."

Ini yang dilakukan oleh wanita ketika dalam keadaan berihrām.

Wallāhu A'lam.

Mudah-mudahan ini bermanfaat.


صلى الله على نبينا محمد
و السّلام عليكم ورحمة الله وبر كا ته

Bersambung ke bagian 19, In syā Allāh

 ________

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 06 Dzulqa’dah 1438H / 29 Juli 2017M
👤 Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc
📔 Materi Tematik | Kajian Islam Intensif Tentang Manasik Haji Dan Umroh (Bag. 18 dari 30)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-Tmk-AZ-ManasikHaji-18
🌐 Sumber: http://www.youtube.com/playlist?list=PLsGyF7LoLNd_MRjTZehq0ykcPfYDjef_i
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment