Wednesday, November 29, 2017

Hadits Pertama (Bagian 02 dari 05)

HADĪTS PERTAMA (BAGIAN 2 DARI 5)
klik link audio

 بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم  صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه

Kita lanjutkan faedah berikutnya:

⑷ Hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam  ucapkan dan didengar oleh para shahābat, baik para shahābat yang dekat dengan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam  demikian juga dengan para shahabat yang mungkin dari Arab Badui.

Mereka mendengar hadīts ini, tentang keikhlāsan.

 وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى

"Bahwasannya setiap orang bagi dia apa yang dia niatkan."

Sebagian ulamā mengambil faedah dari sini, bahwasannya keikhlāsan adalah perkara yang bisa diraih.



Bukan sebagaimana gambaran seseorang, bahwa keikhlāsan seakan-akan sulit untuk diraih,  seakan-akan hanya orang yang kadar imānnya sudah sangat tinggi baru bisa ikhlās.

Tidak!

Keikhlāsan bisa diraih, yang sulit adalah tafsiyah (kemurnian keikhlāsan tersebut). Karenanua kita katakan keikhlāsan itu bertingkat-tingkat.

Orang tatkala menyumbangkan uang, timbul ikhlās. Ada orang miskin dia kasih, dia ikhlās. Itu bisa dia rasakan bahwasannya dia ikhlās.

Tetapi kemurnian keikhlāsan tersebut adalah perjuangan setelah itu. Tidak menceritakan kepada orang lain, kemudian merasa bahwasannya semua dari Allāh dan dia tidak ujub. Ini butuh perjuangan, ini adalah hal yang lain. Ini yang berbeda-beda antara satu dan lainnya.

Tetapi dasar keikhlāsan jika orang niatkan, niat karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla maka dia bisa meraih keikhlāsan tersebut.

Yang sulit adalah, kemurnian, pemurnian keikhlāsan tersebut dari segala bentuk kotoran dan dari segala hal yang bisa mencemarkan keikhlāsan tersebut.

Oleh karenanya diingatkan oleh para ulamā jika timbul was-was (karena sebagian orang diganggu oleh syaithān), setelah dia beramal shālih akan datang syaithān:

"Kamu begini."
"Kamu tidak ikhlās." "Kamu niatnya karena ini."

Maka dia kembali kepada niat asalnya.

"Saya  in Syā Allāh, niat asal saya karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Jadi, setiap ada was-was, khawatir ada yang mengganggu niatnya, maka dia buang, dia kembalikan kepada niat awal, "Niat saya adala ikhlās."

Oleh karenanya, kaedah yang mahsyur yang kita ketahui:

اليقين لا يزول بالشك

"Bahwasannya keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan."

Yang paling penting, saya ingatkan kemarin, bahwasannya poin yang paling penting adalah niat pertama takkala kita beribadah.

Sebelum kita letakkan uang, kita tanya:

"Buat apa kita letakkan uang ini?"
"Benar-benar karena Allāh atau karena ingin sanjungan dari orang lain atau karena ingin disanjung-sanjung, disebut-sebut namanya?"

Kalau ternyata tidak ikhlās maka berhenti, jangan lakukan.

Kita mau shalāt juga demikian, kita mau umrah, haji juga demikian.

"Saya sekarang berangkat ke bandara, ingin umrah niatnya apa?"

"Apakah niat saya agar diketahui oleh orang banyak bahwasannya sedang umrah atau saya pamerkan kepada orang banyak bahwasannya saya sering umrah?"

Ini kita tanyakan pada niat kita.

Tapi kalau niat kita ikhlās, "Yā Allāh, saya ingin memenuhi panggilan-Mu, yā Allāh, saya ingin diampuni dosa-dosa saya," maka berangkat.

Apa yang terjadi setelah itu  makabkita lawan dan jangan khawatir. Jangan kemudian kita terbawa oleh iblīs. "Ah, umrahmu itu tidak beres, umrahmu tidak benar, kau pulang saja, tidak usah umrah, kenapa ? Uang kau buang sia-sia." Ini gak benar!

Kita harus ingat bahwasannya awal beribadah, niat kita adalah karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⑸ Niat fungsinya untuk tamyiz, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain.

Karena terkadang ada dua ibadah yang bentuknya sama.

Contohnya:

Seperti shalāt 'Ashar dengan shalat Zhuhur, sama-sama empat raka'at, cara mengerjakannya sama, dua kali tasyahud, dengan siir (tanpa ada suara), maka yang bisa membedakan ini shalat Zhuhur atau 'Ashar adalah niat.

Kemudian juga di antara fungsi niat adalah membedakan antara adat kebiasaan dengan ibadah.

Contohnya:

Seorang mandi junub, mandi junub perlu niat. Seorang sekedar mandi tanpa niat mandi junub maka tidak sama mandi junubnya. "Ooo, saya sudah mandi tadi, tetapi saya tidak niat," ini berarti mandi junubnya tidak sah.

Karena mandi junub, thaharah, perlu dengan niat. Beda dengan mandi sekedar hanya segar-segar maka tidak butuh niat.

Sekedar menambah wawasan, ada khilāf di antara para ulamā, tentang wudhu, apakah wudhu ini perlu niat tau tidak?

Di sana ada ibadah-ibadah yang disepakati perlu niat.

Seperti:

Shalāt, haji, umrah, ini semua butuh niat.

Kemudian disana ada ibadah-ibadah yang juga disepakati tidak perlu niat, (artinya) tidak perlu niat untuk melaksanakannya.

Contohnya:

Ādzān, jika ada orang ādzān tanpa niat  ādzānnya sah (sudah dikumandangkan ādzān).

Iqāmah pun demikian. Orang iqāmah, sudah selesai iqāmah, dia niat atau tidak niat sudah keluar iqāmahnya, sudah sah iqāmahnya. Silahkan melaksanakan ibadah shalāt.

Memberi salam juga. "Assalāmu'alaykum," tidak perlu niat, artinya tidak perlu niat untuk sahnya.

Masalah pahala lain lagi, artinya ketika seorang ādzān tanpa niat, orang yang iqāmah tanpa niat, maka tetap sah ādzān dan iqāmahnya.

Contohnya juga menutup aurat, menutup aurat tidak perlu niat. Pokoknya aurat tertutup, selesai.

Tidak mengatakan, "Saya berniat untuk menutup aurat saya," ini gak perlu. Artinya, aurat tertutup, selesai. Yang penting auratnya tertutup.

Contohnya lagi membersihkan najis. Najis, tatkala kita ingin membersihkan najis, ada kotoran, (misalnya) di pelataran rumah kita, kita ingin bersihkan, maka tidak perlu niat, yang penting kotorannya hilang.

Oleh karenanya seandainya tidak kita bersihkan, kemudian turun hujan kemudian hilang, sah juga. Meskipun kotoran tersebut hilang dengan sendirinya, yang penting kotorannya hilang. Dibersihkan oleh kita atau dengan air hujan atau dengan cara lain, tidak perlu niat.

Ada perkara yang diperselisihkan seperti wudhu. Wudhu atau mandi janabah.

Apakah ini butuh niat atau tidak?

Sebagian madzhab seperti madzhab Hanafiyyah mengatakan wudhu tidak perlu niat.

Diqiyaskan seperti izalatul najasah, menghilangkan kotoran. Namanya wudhu, yang penting kita ingin menghilangkan hadats.

Tatkala kita sudah wudhu maka hadats kita hilang (ini pendapat madzhab Hanafiyyah sehingga mereka mengatakan wudhu tidak perlu niat).

Mandi janabah juga tidak perlu niat. Karena kalau kita ada junub, kita ingin hilangkan, kalau kita mandi otomatis janabah kita hilang.

Namun pendapat yang benar, pendapat jumhūr ulamā, tiga madzhab yang lainnya, bahwasannya thaharah adalah ibadah dan dia perlu niat.

Dan untuk membedakan antara berwudhu karena ingin seger dengan berwudhu karena bersuci untuk baca Al Qur'ān atau untuk melaksankan ibadah shalāt.

Sebagaimana mandi, mandi bisa juga. Karena kesegaran dan mandi bisa juga untuk menghilangkan janabah maka butuh niat untuk bertaqarrub kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Sekarang kita masuk dalam beberapa kaedah-kaedah yang Penting.

• KAEDAH YANG PERTAMA |Bahwasannya niat yang tulus, niat yang ikhlās, bisa merubah perkara-perkara yang mubah (yang hukum asalnya adalah mubah/boleh) menjadi ibadah.

Contoh:

Seperti seorang yang mengunjungi atau menziarahi temannya. Dia niatkan saya ingin menyenangkan hati teman saya, karena Allāh dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam  menganjurkan kita memasukkan kesenangan, kebahagiaan pada hati saudara kita. Maka kita datang untuk menemani dia ngobrol sebentar, kita dapat pahala.

Beda dengan sekedar kita datang main-main tanpa ada niat, tidak dapat pahala.

Ini perlu kita perhatikan.

Oleh karenanya dipersyaratkan niat yang tulus.

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
         
وَإنَّكَ لَنْ تُنفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغي بِهَا وَجهَ اللهِ إلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فِيِّ امْرَأَتِكَ

"Bahwasannya tidaklah engkau berinfāq dengan syarat kau mencari wajah Allāh Subhānahu wa Ta'āla kecuali kau mendapatkan pahala sampai suapan yang kau suapkan ke mulut istri mu."

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 56)

Seseorang tatkala sedang menyuapkan makanan ke mulut istrinya (sedang mesra dan seseorang bisa lupa dengan akhirat), tetapi jika dalam niatnya dia hadirkan, "Saya menyenangkan hati istri saya, saya menyuap istri saya karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla,"  maka dia dapat pahala kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Beda jika ia sekedar suap, gak ada niat sama sekali, maka tidak dapat pahala.

Oleh karenanya, penting tatkala kita bekerja maka niatkan kita untuk menafkahi keluarga (karena Allāh perintahkan kita untuk nafkahi keluarga).

Kalau kita hadirkan niat, maka seluruh keringat yang kita keluarkan akan dapat pahala.

Sampai-sampai Nabi  shallallāhu ‘alayhi wa sallam katakan:

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

"Tatkala engkau berhubungan senggama dengan istri mu, kau dapat pahala."

Kita niatnya untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami karena Allāh memerintahkan seorang suami untuk memenuhi kebutuhan biologis seorang istri.

Tatkala kita mendatangi istri kita, dengan niat karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla, bahkan tatkala sedang berhubungan akan dapat pahala. Yang menyatakan demikian adalah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
         
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

"Tatkala seseorang sedang menggauli istrinya maka ia sedang bershadaqah."

(Hadit shahīh riwayat Muslim nomor 120)

Kemudian perkara yang perlu saya ingatkan, bahwasanya niat yang tulus tidak otomatis menjadikan amalan itu pasti diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Karena kita tahu, syarat diterimanya amalan ada dua, yaitu:

⑴ Niat yang ikhlās karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
⑵ Amalan tersebut harus sesuai dengan sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Tidak boleh seseorang membuat amalan seenaknya kemudian dia mengatakan niat saya tulus. Sebagaimana saya pernah lihat di berita ada seorang wanita yang diwawancarai dan dia sering mengumbar auratnya, maka ditanya, mengapa dia mengumbar auratnya?

Dia mengatakan, orang-orang senang melihat kecantikan dia, maka dia ingin membahagiakan orang lain. Ini niatnya baik, tapi keliru. Ini tidak boleh, ini maksiat.

Jika dibuka pintu seperti ini nanti banyak orang melakukan kemaksiatan.

Saya mencuri, niatnya membantu faqīr miskin. Ini mencuri namanya, meskipun niatnya untuk membantu faqīr miskin.

Saya pacaran dengan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, berdua-duaan. Kenapa? Niat saya menyenangkan hati wanita tersebut. Ini harām. Niat yang baik tidak menjadikan amalan otomatis menjadi baik.

Demikian juga dalam masalah ibadah, tidak sembarang seorang melakukan ibadah seenaknya dengan niat yang tulus katanya,  kemudian ibadah tersebut diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Sering saya sampaikan tentang contohnya bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh sebagian orang, seperti sebagian kaum muslimin yang melakukan shalāt dua raka'at setelah sa'i.

Ini adalah bid'ah.

Yang ada, yang dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah shalāt dua raka'at setelah thawāf.

Barangsiapa setelah mengerjakan thawāf maka dia melaksanakan shalāt sunnah dua raka'at setelah thawāf.

√ Raka'at pertama membaca surat Al Kāfirun.
√ Raka'at kedua membaca surat Al Ikhlās (Qul huwallāhu ahad)

Ada orang yang kurang puas, setelah mengerjakan Sa'i maka dia mengerjakan shalāt dua raka'at lagi setelah Sa'i.

Ini tidak benar, niatnya baik namun tidak diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena amalan tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Nabi 'shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Seakan-akan dia menuduh tata cara manasik umrah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ada yang kurang.

Dan ini menganggap ajaran Nabi 'shallallāhu ‘alayhi wa sallam  tidak sempurna dan dia menganggap dirinya lebih baik daripada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Amalan seperti ini tidak diterima, sebagaimana shalāt-shalāt buatan sebagian orang yang menyatakan ada shalāt ini, shalāt itu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Saya pernah ditanya, "Ustadz, bagaimana hukum shalāt birul walidayin?"

Darimana shalāt ini?

Birul walidayin bagus, tapi apakah ada istilah shalāt birul walidayin ?

Maka ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi  'shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Dan barangsiapa yang melakukannya walaupun dengan niat yang tulus, maka tidak diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena syarat diterima amalan ada dua, yaitu niat yang benar dan amalan tersebut dicontohkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Demikian saja apa yang bisa disampaikan pada kesempatan kali ini, besok in Syā Allāh kit lanjutkan biidznillāhi Ta'āla.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-------------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 11 Rabi’ul Awwal 1439 H / 29 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Hadits Pertama (Bagian 02 dari 05)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0109
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment