Thursday, November 23, 2017

Muqaddimah Dan Hadits Pertama (Bagian 04 dari 07)

MUQADDIMAH DAN HADĪTS PERTAMA (BAGIAN 04 DARI 07)
klik link audio

 بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم  صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه

Kita mulai membahas hadīts-hadīts dari 'Arbain Nawawiyyah yang ditulis oleh Imām Nawawi rahimahullāh, yang berjumlah 42 hadīts, namun dikenal dengan 40 hadīts.

Karena demikian kebiasaan orang-orang Arab kalau ada lebih sedikit atau kurang sedikit mereka menyebutnya dengan mengenapkan. Empat puluh dua mereka katakan empat puluh, tigapulih delapanpun mereka katakan empatpuluh.

Jadi yang sebenarnya bukan 40 hadīts akan tetapi 42 hadīts.

Asal dari 42 hadīts ini adalah 26 hadīts yang disampaikan oleh Imām Abū 'Amr Ibnu Shālah rahimahullāhu Ta'āla.

Beliau memiliki majelis dan beliau menyampaikan 26 hadīts yang 26 hadīts tersebut adalah "alayha maa darul Islām" yaitu agama Islām berkisar pada 26 hadīts ini.



Artinya hadīts-hadīts yang singkat tetapi mengandung makna yang sangat dalam, dalam berbagai macam bidang agama yang dikumpulkan oleh Imām Ibnu Shālah rahimahullāh.

Ternyata Imām Nawawi rahimahullāh menyempurnakan, ditambah oleh Imām Nawawi rahimahullāh menjadi 42 hadīts, hadīts-hadīts yang mengandung makna-makna yang dalam yang termasuk dari "jawāmiul kalim".

Setelah Imām Nawawi menulis 42 hadīts sebagian ulamā memprotes, mereka mengatakan masih ada hadīts-hadīts yang  maknanya sangat dalam, kenapa tidak disebutkan oleh Imām Nawawi rahimahullāh?

Oleh karenanya disempurnakan lagi oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullāh sehingga menjadi 50 hadīts (ditambah 8 hadīts), yang mana 50 hadīts tersebut seluruhnya hadīts-hadīts yang lafazhnya singkat namun maknanya sangat dalam (bukan sembarang hadīts).

Hadīts yang pertama adalah hadīts yang dikenal dengan hadīts niat.

Yaitu hadīts yang diriwayatkan Imām Al Bukhāri dan Imām Muslim dalam Shālih mereka, dari shahābat 'Umar bin Khaththāb radhiyallāhu 'anhu.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٌ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثَيْنِ : أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةِ الْبُخَارِيْ ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمِ الْقُشَيْرِيُّ اَلنَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ .

Dari Amīrul Mukminīn Abū Hafshah 'Umar bin Khaththāb radhiyallāhu 'anhu berkata: Saya mendengar Rasūlullāh   shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya amalan-amalan-amalan berdasarkan niat-niat dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allāh dan rasūl-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allāh dan rasūl-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih atau karena wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan."

(Hadīts riwayat Muslim nomor 1907)

Kata Imām Nawawi rahimahullāh, hadīts ini diriwayatkan oleh dua imām hadīts, yaitu:

⑴ Abū 'Abdillāh Muhammad bin Ismāil bin Ibrāhīm bin Mughīrah bin Bardizbah Al Bukhāri.

⑵ Abū Husaīn Muslim bin Hajjāj bin Muslim Al Qusyaīriy An Naisāburiy

Di dalam kitāb Shahīh mereka, yaitu Imām Bukhāri di Shahīh Bukhāri dan Imām Muslim di Shahīh Muslim.

Kemudian kata Imām Nawawi rahimahullāh, bahwa kitāb ini adalah kitāb yang paling shahīh yang pernah ditulis. Karena kedua imām ini (Bukhāri dan Muslim) mempersyaratkan tidaklah mereka menulis hadīts-hadīts dalam kitāb mereka kecuali hadīts-hadīts yang shahīh. Adapun hadīts-hadīts yang dhāif tidak mereka masukan.

Berbeda dengan kitāb-kitāb yang lain, seperti kitāb:

√ Sunan Abū Dāwūd
√ Sunan  At Tirmidzi
√ Sunan An Nasāi'
√ Sunan Ibnu Mājah
√ Musnad Imām Ahmad.

Hadīts-hadītsnya bercampur antara hadīts-hadīts shahīh dan hadīts dhāif.

Mereka tidak mempersyaratkan hadīts-hadīts yang shahīh.

Berbeda dengan shahīh Bukhāri dan shahīh Muslim, kedua imām ini tatkala menulis 2 buku mereka (Shahīh Bukhāri dan Shahīh Muslim) mereka berdua mempersyaratkan hadīts-hadīts yang mereka sebutkan dalam kedua kitābnya harus hadīts-hadīts yang shahīh.

Hadīts:

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ .......

"Sesungguhnya amalan-amalan tergantung berdasarkan niat-niatnya."

Hadīts ini adalah hadīts yang disepakati oleh para ulamā merupakan hadīts yang berkisar kepadanya Islām. 

Bahkan diriwayatkan oleh Imām As Syāfi'i, beliau mengatakan hadīts ini "tsulutsul Islām" yaitu sepertiga dari agama.

Bahkan 'Abdurrahman bin Mahdi rahimahullāh Ta'āla mengatakan:

لو صنفت الأبواب لجعلت حذيث عمر بن الخطاب [ إنما الأعمال بالنيات] في كل باب

"Kalau saya menulis bab-bab agama maka saya akan menjadikan hadīts ini ( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ) disetiap bab."

Kita tahu bahwasanya para ulamā dahulu menukis bab-bab fiqih bab thaharah, bab shalāt, bab puasa, bab haji dan lainnya.

Kata Aburrahman bin Mahdi rahimahullāh saya ingin setiap bab, saya tulis hadīts ini (إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ).

Kenapa?

Karena hadīts ini sangat penting dan berkaitan dengan bab-bab.

Bahkan Imām Syāfi'i mengatakan hadīts ini berkaitan dengan 70 bab fiqih. Setiap bab perlu hadīts ini ( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ).

Demikian juga diriwayatkan dari Imām Ahmad rahimahullāh, beliau menyatakan bahwasannya, Islām ini berkisar kepada tiga hadīts, yaitu:

⑴ Hadīts pertama adalah hadīts ini:

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

⑵ Hadīts yang kedua adalah hadīts 'Āisyah:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak."

(Hadīts riwayat Muslim nomor 1718)

⑶ Hadīts yang ketiga adalah:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

"Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang harāmpun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang masih samar yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara harām. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allāh di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharāmkan-Nya."

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 2051 dan Muslim nomor 1599)

Kata Imām Ahmad rahimahullāh Ta'āla, agama seluruhnya dibangun di atas tiga hadīts ini.

Oleh karenanya hadīts  إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ adalah hadīts yang sangat penting dan mengandung banyak sekali faedah.

Pada kesempatan ini kita ingin mencoba mengambil sebagian faedah dari hadīts tersebut.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tatkala mengatakan:

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Hanya saja amalan-amalan itu dengan niat-niat."

Kemudian kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, bahwasanya setiap orang apa yang dia niatkan.

Ini adalah dalīl bahwasanya amalan yang menjadi patokan mendapat pahala atau dosa adalah yang disertai dengan niat.

Adapun amalan yang tanpa niat maka tidak akan mendapat pahala dan juga dosa. Yang menjadi penilaian adalah amalan yang ada niatnya. Amalan​ apapun.

Bahkan sebagian ulamā menyatakan, bahwa amalan di sini umum mencakup amalan jawarih (amalan tubuh) maupun amalan lisan dan hati.

Maka seorang jangan sampai dia melakukan amalan hati kecuali dengan niat yang benar.

Jika dia melakukan amalan tubuh atau amalan lisan atau amalan hati dengan niat yang salah maka dia mendapatkan dosa, setiap amalan berdasarkan niatnya.

Oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman di dalam surat Al Kahfi ayat 49. Tatkala mereka dihisāb oleh Allāh pada hari kiamat, dibukalah kitāb catatan amal, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

.... وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ.....

"Maka mereka mendapati apa yang mereka lakukan hadir tatkala itu."

Dan yang tercatat didalam catatan amalnya semuanya, bukan hanya perbuatan tubuh tetapi perkataan juga dicatat termasuk amalan hati juga dicatat.

Amalan hati banyak, ada tawakal, ada taubat, semua ini dicatat oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Jika seorang melakukan amalan-amalan tersebut karena Allāh maka dia akan mendapatkan pahala, jika dia tidak melakukannya bukan karena Allāh tetapi karena niat yang buruk maka dia akan mendapat dosa.

Sampai Allāh menyebutkan tentang seorang kāfir yang dia berpikir untuk mencela Al Qur'ān, dalam surat Al Mudatsir dari ayat 18 sampai 26, kata Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ

"Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya)."

Apa yang dia pikir?

Dia berpikir untuk mencela  Al Qur'ān. Celaka dia! Bagaimana dia bisa menetapkan.

Dia berpikir, kemudian dia memandang (melihat) merenungkan, kemudian dia berpaling dengan penuh kesombongan, dia mengatakan, "Al Qur'ān hanyalah sihir yang dipelajari, Al Qur'ān hanyalah perkataan manusia."

Lihat! Gara-gara dia berpikir, berpikirnya karena keburukan akhirnya membuahkan perkataan, maka dia dihukum oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dia akan dimasukan ke dalam neraka saqar.

Dari sini, jangan pernah menyepelekan amalan apapun. Apa yang anda ucapkan bila niatnya karena Allāh berpahala. Dan apa yang anda pikirkan, misalnya anda memikirkan tentang Islām, tentang kemaslahatan kaum muslimīn, ini tidak ada yang luput dari catatan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semuanya berpahala disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Sebagaimana seorang yang berpikir untuk mencela Al Qur'ān, diancam dengan neraka jahannam.

Demikian pula orang yang berpikir untuk membela Islām, membela syari'at Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, berpikir untuk kemaslahatan umat, maka semuanya berpahala.

Demikian saja apa yang bisa disampaikan pada kesempatan kali ini, in Syā Allāh besok kita lanjutkan dengan idzin Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

وبالله التوفيق و الهداية
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-------------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 05 Rabi’ul Awwal 1439 H / 23 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Muqaddimah Dan Hadits Pertama (Bagian 04 dari 07)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0104
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment