Saturday, March 24, 2018

Materi Tematik | Metode Belajar Para Ulamā Salaf


METODE BELAJAR PARA ULAMĀ SALAF


Tidak sedikit orang yang merasa sudah lama belajar namun ilmu yang ia peroleh belum mengurangi dahaganya. Masih banyak masalah-masalah pokok yang belum ia mengerti.

Terkadang ada yang tertipu (salah paham) dengan sebuah ungkapan Imām Asy Syāfi'i, bahwa menuntut ilmu diperlukan waktu yang cukup lama. Padahal problem yang ia hadapi bukan terletak pada permasalahan waktu.

Betapa kita menyadari bahwa sekedar mengerti Bahasa Arab saja belumlah memadai untuk menguasai ilmu syari'. Ia baru merupakan salah satu pokok mengerti syari'at Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Sudah demikian, malakah (baca: kecakapan) berbahasa Arab pun tak seberapa mencukupi. Terbukti dengan adanya sejumlah materi Bahasa Arab yang masih jauh dari gambaran atau malah namanya saja tidak tahu.


Paling tidak, sharaf dan nahwu harus betul-betul dikuasai oleh seorang pembelajar sehingga dalam membaca dan menulis tidak lagi keliru.

Ketahuilah bahwa ketika Anda sudah merasa mampu membaca kitāb-kitāb fatwa untuk memecahkan problem kemasyarakat, bukan maknanya Anda sudah menjadi ustadz.

Sebab orang yang rujukannya fatwa-fatwa praktis atau pendapat rajīh dalam setiap permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan padanya, menunjukkan ia tidak memiliki malakah fiqih.

Seharusnya ia bisa mencari sendiri dalam kitāb-kitāb fuqahā', mengumpulkan komentar para ulamā, serta dalīl-dalīl mereka lalu kemudian menganalisis masing-masing pendapat itu.

Sayangnya kawan-kawan penuntut ilmu terlalu puas dengan sebuah produk instan daripada menghasilkan produk sendiri.

Sudah begitu ia sudah berani mengelilingi mimbar-mimbar masjid serta mengobral fatwa secara serampangan.

Padahal ia tak lebih dari predikat orang awam. Kalau sekedar membaca fatwa berbahasa Arab, apa bedanya ia dengan orang awam yang membaca buku-buku fatwa versi terjemah?! Toh hasilnya sama.

Sehingga orang model di atas masih dikategorikan sebagai muqallid meski orang yang dia taqlīd kepadanya membawakan dalīl-dalīl dari Al Qur'ān dan As Sunnah Ash Shahīhah.

Kenapa demikan?

Sebab boleh jadi ia tidak mengerti cara pendalīlan ulamā yang diikutinya.

Sedangkan segi pendalīlan ini tidak kalah penting dari membaca dalīl itu sendiri.

Dan pintar membaca dalīl bukan berarti benar. Masih diperlukan ilmu pengambilan hukum dari dalīl itu.

Kalau sekedar membaca dalīl sudah dikategorikan orang hebat, tentu tidak ada orang di muka bumi ini yang sesat.

Sebab baik Mu'tazilah, Khawarij, Murji'ah dan bahkan Liberal pun masing-masing pandai membaca dalīl.

Oleh sebab itu jangan berbangga dahulu apabila baru sekadar bisa membaca kitāb walau inipun sangat perlu disyukuri.

Jika demikian, bagaimanakah metode belajar para ulamā salaf?

Secara ringkas, metode belajar yang benar dapat ditempuh dengan cara tadarruj. Ini adalah metode belajar yang disepakati oleh semua orang.

Dalam pembahasan ini akan penulis contohkan belajar fiqih.

Metode Belajar Fiqih Para ulamā

⑴ Dimulai dengan kitāb ringkas (matan) tanpa dalīl.

Para ulamā menyebutkan, sebagaimana yang disinggung oleh Syaikh Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi dan Syaikh Abdussalam Asy Syuwai’ir, bahwa pembelajar harus memulai dari kitāb ringkas (matan) tanpa dalīl.

Kewajibannya hanyalah membacanya berulang kali dan jika memungkinkan menghafalnya.

⑵ Memahami dalīl dari tiap bagian dalam kitāb matan.

Langkah berikutnya setelah berulang kali membaca dan mengerti maksud matan tersebut, membaca dalīl-dalil dari setiap masalah yang terkadung dalam matan tersebut.

Sangat tidak disarankan dalam jenjang ini masuk dalam area khilāf ulamā.

Problem sebagian orang pelajar pemula, membandingkan fatwā ustadz-ustadz yang ia jumpai.

Sesekali bertanya ulamā A, esoknya bertanya kepada ustadz/ulamā B dalam masalah yang sama. Inilah yang kemudian yang menyebabkan keberkahan hilang.

⑶ Bersabar dalam satu pendalīlan terlebih dahulu

Kemudian seyogyanya seorang thālib membuang rasa terlalu percaya diri. Sehingga manakala ia masih pada jenjang matan, sekali-kali tidak pergi ke kitāb-kitāb perbandingan madzhab macam Al Majmu’, Al Mughni, atau mungkin Shahīh Fiqh As Sunnah.

⑷ Memilih kitāb matan yang umum diajarkan di daerah asal.

Berkaitan dengan kitāb matan apa yang dipilih, Asy Syuwa’ir menyarankan kitāb matan yang terkenal di negeri tempat tinggal pelajar agar ulamā setempat dapat menjelaskan kepadanya.

Dalam kontek Indonesia, Matan Al Ghayah wa At Taqrib karya Al Qadhi Abu Syujā' bisa dijadikan pilihan.

⑸ Belajar mulai dari madzhab yang umum digunakan.

Jika ada yang bertanya, apakah boleh konsisten dengan satu madzhab tertentu?

Syaikh Asy Syinqithi menyatakan bahwa memegang satu madzhab adalah jalan salaf shālih.

Oleh karena itu, seyogyanya kita berjalan sebagaimana mereka berjalan. Kita mengambil dari mana mereka mengambil.

Tidak ada seorang ulamā hebat pun melainkan membaca satu madzhab tertentu. Sementara orang-orang yang mempermasalahkan madzhabiyyah, kalau ditanya tentang madzhab-madzhab ulamā pasti ia paling bodoh akan madzhab-madzhab itu.

Pepatah mengatakan, "Orang yang tidak mengerti sesuatu, maka ia akan memusuhi sesuatu tersebut."

Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang melarang bermadzhab hanya ingin menutupi kejāhīlan dan kebodohannya dengan melarang orang-orang disekelilingnya dari belajar melalui satu madzhab. 

Jangan disangka matan-matan ringkas ini tak bersandar Al Qur'ān dan As Sunnah. Padahal siapa pun tahu matan-matan itu sudah berusia tua, sudah berabad-abad lamanya.

Apa akan ada orang belakangan ini yang mengatakan kitāb-kitāb itu bagian dari kemungkaran sedangkan sudah sekian lama ulamā-ulamā sebelumnya diam dari kemungkaran tersebut?

Tidak pula mengingatkan umat?

Artinya kita lebih memiliki kesadaran daripada ulamā-ulamā sebelum kita?

Jika demikian, kita adalah bagian orang yang tidak mengerti kadar keulamāan salaf.

Kalau ada yang bertanya lagi, kenapa harus menempuh satu madzhab dalam manhaj belajar fiqih?

Sebab masing-masing madzhab memiliki satu suara pendapat yang dikenal dengan pendapat muktamad. Ketika kita belajar dari kitāb matan, kemudian ke kitāb yang agak berbobot dalam lingkaran madzhab yang sama, maka apa yang kita peroleh pendapat sebelumnya akan dikuatkan dalam kitāb berikutnya.

Sementara orang yang belajar tidak melalui madzhab tertentu, maka apa yang ia pelajari dari kitāb sebelumnya akan diruntuhkan oleh kitāb yang ia pelajari sekarang.

Karena masing-masing penulis kitāb itu memiliki pendapat yang tidak sewarna. Akhirnya ia akan bingung karena dia seorang pemula.

Demikian, in syā Allāh artikel selanjutnya akan disampaikan referensi kitāb dalam belajar 'Aqidah dan Fiqih.

'Aqidah sebagai ilmu dasar keyakinan seorang muslim dan Fiqih sebagai ilmu dasar dalam seorang muslim beramal sehari-hari. Wallāhu A'lam.


🖋 Ustadz Firman Hidayat Marwadi
________

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 06 Rajab 1439 H / 24 Maret 2018 M
📝 Materi Tematik | Metode Belajar Para Ulamā Salaf
_______


No comments:

Post a Comment