Saturday, August 27, 2016

Materi Tematik | HAJI (Bagian 06)

Materi Tematik | HAJI (Bagian 06)
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله


Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masih membahas syarat kewajiban haji, yaitu :

√ Syarat yang ke lima

Yaitu firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ

"Dan wajib bagi manusia untuk berhaji kepada Allāh bagi yang mampu."

(Qs. Al Imrān : 97)


Kemampuan disini maksudnya adalah:

⑴ Kemampuan secara harta, dan
⑵ kemampuan secara fisik.

· Kemampuan Harta

Adapun yang dimaksud kemampuan secara harta yaitu dia masih memiliki harta yang lebih setelah dia melunasi hutangnya dan setelah dia memberi nafkah yang syar'i.

Artinya dia masih menyisakan uang selama diperjalanan pergi-pulang, dan sampai kembali pulang haji masih ada uang yang disisakan untuk anak dan istrinya, untuk mereka makan dan untuk mereka melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari dan juga dia telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya.

Oleh karenanya kebutuhan primernya harus terpenuhi.

Misalnya seorang menuntut ilmu tentu, diantara kebutuhan primernya adalah memiliki buku-buku maka tidak dikatakan, "Kamu harus jual bukumu untuk haji," tidak boleh seperti itu.

Demikian juga seorang yang memiliki kebutuhan primer seperti mobil, dia mungkin jadi tukang taksi atau mungkin dia perlu ke pasar pakai mobil maka jangan dikatakan kepada dia, "Kamu harus jual mobilmu untuk haji (mobil ini mahal kau jual untuk haji)," tidak bisa.

Karena mobil tersebut dia butuhkan untuk melaksanakan kehidupan dia sehari-hari.

Demikian juga seorang mungkin ahli dalam hal tertentu, (misalnya) tukang cukur, memiliki alat cukur yang canggih yang mahal atau misalnya dokter gigi mempunyai alat untuk praktek kemudian tidak boleh kita katakan, "Kamu jual ini alat dokter gigi karena harganya mahal kau jual untuk haji," tidak boleh.

Karena itu adalah kebutuhan primer dia.

Kemudian, misalnya ada orang yang ingin menikah dia punya uang untuk mahar dan mungkin untuk persiapan walimahan dan ini cukup untuk berhaji. Maka tidak boleh kita katakan, "Kamu tunda nikahmu harus kau haji dulu," tidak, karena ini kebutuhan primer.

Jadi, kalau dia sudah memenuhi kebutuhan primernya dan masih ada uangnya maka itu baru dikatakan memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji.

Ini jadi kemampuan harta yang pertama.

· Kemampuan Fisik

Maksudnya kemampuan fisik adalah dia mampu untuk berhaji, dia mampu untuk naik pesawat (naik kendaraan) untuk berpindah dari satu manasik ke manasik yang lainnya, dari Minna ke Arafah (dia mampu untuk naik kendaraan) ini kemampuan fisiknya harus ada.

Karena kita berhaji bukan mencari mati disana, bukan ingin mati di Mekkah, tidak!

Kita ingin Haji dan kalau tidak mampu tidak boleh dipaksa.

Karenanya, kalau ada orang ternyata memiliki kemampuan harta dan kemampuan fisik maka wajib bagi dia untuk segera berhaji, sebagaimana telah kita jelaskan bahwasanya kewajiban haji itu kewajiban yang faur, yaitu segera tidak boleh dia tunda, kalau dia tunda maka dia berdosa.

Dia harus daftar tahun itu, kenapa?

Uangnya ada dan dia memiliki kemampuan secara fisik.

Kemudian kalau ada orang ternyata dia tidak mampu, badannya tidak kuat, uangnya juga tidak ada maka jelas ini tidak wajib untuk haji.

Atau dia mampu secara badan sehat kuat segar tapi uang tidak ada maka tidak wajib haji.

Adapun jika dia memiliki harta, kemampuan harta ada tapi fisiknya tidak mampu untuk berhaji, selama-lamanya tidak bisa lagi berhaji.

Kalau dia sakit tunggu sampai dia sembuh, tapi kalau kondisi dia tidak mungkin lagi berhaji (misalnya) dia memiliki penyakit komplikasi yang menurut dokter tidak atau susah untuk sembuh (secara kedokteran susah untuk sembuh) atau misalnya dianjurkan tunggu sembuh dulu baru berhaji. karena misalnya dia terkena penyakit kanker atau komplikasi dan yang lainnya.

Atau orangnya sudah sangat tua, tidak mungkin kita bilang tunggu muda lagi. Sudah tua dan tidak mungkin naik pesawat, tidak mungkin untuk naik kendaraan dari Minna ke Arafah atau yang lainnya maka orang seperti ini tetap wajib haji tapi bukan dia yang berhaji tetapi dia menyuruh orang lain untuk menghajikan dia.

Sebagaimana dalam hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ  " نَعَمْ ".

Ada seorang wanita berkata:

"Yā Rasūlullāh, sesungguhnya kewajiban yang Allāh wajibkan kepada hamba-hambanya untuk berhaji telah mengenai ayahku, hanya saja ayahku sudah tua dan ayahku tidak mampu untuk kokoh diatas kendaraan (diatas unta, misalnya) tidak mampu, kalau dia naik pasti akan jatuh, maka kata wanita ini, apakah saya boleh menghajikan ayahku?"

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

"Na'am....boleh".

(HR Bukhari 7 versi Fathul Bari nomor 1513)

⇛ Ini dalīl bahwasanya seseorang yang diberi kemampuan harta kemudian ternyata dia tidak mampu untuk berhaji (karena fisiknya tidak kuat/sangat tua atau sakit komplikasi) maka dia menyuruh orang untuk menghajikan.

Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikian juga ada syarat tambahan bagi seorang wanita, wanita hanya boleh berhaji (wajib haji) kalau dia memiliki mahram.

Adapun kalau dia tidak memiliki mahram maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan ibadah haji.

Dalam satu hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ". فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً. قَالَ " اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ ".

"Tidak boleh seseorang berdua-duaan dengan lelaki kecuali wanita tersebut ada mahramnya dan tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali dengan mahramnya."

Tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyampaikan hal ini, ada seorang berdiri kemudian dia berkata:

"Wahai Rasūlullāh, istriku sedang keluar untuk melaksanakan ibadah haji, dan aku telah mendaftar untuk ikut serta dalam perang ini dan itu."

Kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

"Pergi engkau, berhajilah bersama istrimu."

(HR Bukhāri nomor 2784 versi Fathul Bari nomor 3006)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak memperinci tatkala itu:

- Apakah istrimu pergi bersama wanita-wanita yang lain, yang amanah dan yang lainnya?

- Apakah istrimu cantik atau tidak?

- Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak bertanya apakah istrimu aman atau tidak?

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam langsung menyuruh laki-laki tersebut menemani istrinya untuk berhaji.

Bahkan tidak perlu berjihād karena jihād fardu kifayah, adapun menemani istri berhaji adalah fardu 'Ain.

Karena sesungguhnya wanita butuh mahram, butuh seorang yang menjaganya dari timbulnya kerusakan, timbul keburukan, atau menjaganya dari gangguan orang-orang yang fasik dan (misalnya) menjaga jangan sampai dia ngobrol sama lelaki lain yang akhirnya terjadi jalinan (hubungan-hubungan yang haram, misalnya).

Oleh karenanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyuruh sang lelaki tadi untuk menemani istrinya untuk berhaji.

Dari sini ada khilaf diantara para ulamā.

Menurut pendapar yang lebih kuat bahwasanya wanita yang tidak punya mahram tidak wajib untuk haji.

Ustadz, bagaimana kalau dia tetap berhaji meskipun tidak pakai mahram?

Kita katakan bahwasanya hajinya tetap sah namun dia berdosa karena dia melanggar perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

 لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Wanita tidak boleh bersafar kecuali dengan mahram."

Wallāhu Ta'āla A'lam bishawab.
__________

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 24 Dzulqa'dah 1437 H / 27 Agustus 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📔 Materi Tematik | HAJI (Bagian 06)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Haji-06
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment