Wednesday, March 6, 2019

Kajian 116 | Larangan-Larangan Di Dalam Ihrām

LARANGAN-LARANGAN DI DALAM IHRĀM
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan pelajaran kita pada halaqah yang ke-116. Pada halaqah kali ini kita masuk pada pembahasan tentang "Muharamātu Al Ihrām" atau larangan-larangan di dalam ihrām.

Berkata penulis rahimahullāh:

ويحرم على المحرم عشرة أشياء: لبس المخيط وتغطية الرأس من الرجل والوجه والكفين من المرأة وترجيل الشعر وحلقه وتقليم الأظفار والطيب وقتل الصيد وعقد النكاح والوطء والمباشرة بشهوة

Haram bagi orang yang ihrām 10 (sepuluh) perkara:

Perkara-perkara yang sebelumnya diperbolehkan kemudian setelah seseorang  berniat masuk ke dalam ihrām, maka berlaku larangan-larangan ihrām, yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sudah masuk di dalam nusukh ibadah haji atau umrah.



Di antaranya, adalah:

⑴ Memakai pakaian

Di sini diartikan pakaian yang berjahit (maksudnya) adalah pakaian yang membentuk tubuh, baik itu dengan jahitan atau dengan yang lainnya (misalnya) dengan peniti, jarum dan lain sebagainya.

Intinya pakaian tersebut membentuk tubuh seseorang, memisahkan antara satu anggota badan dengan anggota badan lainnya maka ini disebut sebagai makhīth (المخيط) atau berjahit.

⑵ Menutup seluruh atau sebagian kepala bagi laki-laki dan wajah dan kedua telapak tangan bagi wanita.

Adapun apabila seorang laki-laki menutup kepalanya dengan sesuatu yang tidak menempel (misalnya) payung maka ini diperbolehkan. Yang tidak diperbolehkan adalah menutup kepalanya dengan sesuatu yang menempel (misalnya) topi atau kain yang ditempelkan di kepala maka ini tidak boleh.

Dan bagi wanita dilarang untuk menutup wajah dan telapak tangan pada saat dia ihrām.

Berdasarkan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ

"Janganlah wanita yang sedang berihrām menutup wajahnya dan jangan pula menutup atau memakai kaos tangan sehingga menutup kedua telapak tangannya."

(Hadīts riwayat Bukhāri, An Nasāi dan At Tirmidzī)

⑶ Menyisir rambut dengan minyak rambut

Dalam madzhab Syāfi'iyah, menyisir rambut walau pun dia tidak menggunakan minyak maka termasuk perkara makruh karena dikhawatirkan akan tanggal rambut-rambutnya dan di sini ada khilāf.

⑷ Memotong rambut

Maksudnya semua rambut yang tumbuh baik di kepala, ketiak maupun kemaluan dilarang untuk dipotong atau dihilangkan dengan wasīlah apapun, baik dengan gunting atau alat apapun.

Berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَلَا تَحْلِقُوا۟ رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْهَدْىُ مَحِلَّ

"Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya."

(QS Al Baqarah: 196)

⑸ Memotong kuku

Memotong kuku termasuk perkara yang tidak diperbolehkan.

⑹ Memakai wangi-wangian

Memakai wangi-wangian baik di badan maupun pakaian (kain ihrām).

Dan diperbolehkan bagi seseorang menggunakan wangi-wangian di badannya (bukan di pakaiannya) apabila belum masuk ihrām.

Sebagaimana dalam sebuah hadīts disebutkan bahwasanya Āisyah radhiyallāhu ta'āla 'anhā memakaikan minyak wangi kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebelum Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam ihrām.

⑺ Membunuh binatang buruan (di darat)

Berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًۭا

"Dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram."

(QS Al Māidah: 96)

⑻ Melakukan akad nikah (menikah sendiri atau menikahkan orang lain)

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

 لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ

"Seorang yang berihrām tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahi."

(Hadīts riwayat Imām yang lima kecuali Imām Bukhāri)

⑼ Berhubungan suami istri

Berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ

"Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji."

(QS Al Baqarah: 197)

⇒ Rafats ditafsirkan oleh para ulamā adalah al jimā' atau hubungan antara suami dan istri.

⑽ Bersentuhan (antara pria dan wanita) dengan syahwat

Apabila bersentuhan antara suami dan istri dalam rangka bercumbu dengan syahwat maka ini adalah perkara yang dilarang.

Berkata penulis rahimahullāh:

وفي جميع ذلك الفدية إلا عقد النكاح فإنه لا ينعقد ولا يفسده إلا الوطء في الفرج ولا يخرج منه بالفساد

"Dan keseluruhan larangan tersebut di atas apabila dilakukan maka dia harus membayar fidyah kecuali akad nikah, karena akad nikah tersebut tidak berlaku atau tidak sah."

Dan tidak ada yang merusak ibadah ini (haji dan umrah) kecuali hubungan suami istri (jimā') dan tidak mendapatkan pahala haji dan umrah, akan tetapi dia tidak boleh berhenti dipinggir jalan atau keluar dari ibadah tersebut dengan alasan ibadahnya sudah rusak, karena perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla

وَأَتِمُّوا۟ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّه

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allāh."

(QS Al Baqarah: 196)

Jadi dia harus terus menjalankan ibadah haji atau umrah sampai selesai walaupun ibadah tersebut dalam keadaan rusak.

Sebagaimana firman Allāh di atas, juga Umar bin Khathāb, Āli bin Abū Thālib, Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhum pernah ditanya tentang seorang yang berhubungan dengan istrinya ketika dia dalam keadaan ihrām dalam haji, maka mereka berfatwa, "Maka keduanya meneruskan hajinya sampai sempurna (selesai), kemudian keduanya wajib mengulangi hajinya pada tahun depan dan membayar hadyu (unta)."

Jadi seorang yang berhubungan dan dia masih dalam keadaan ihrām haji sebelum tahallul awal maka:
⇒ Hajinya rusak.
⇒ Dia tetap harus melanjutkan ibadah haji tersebut sampai selesai.
⇒ Wajib baginya untuk mengulang hajinya di tahun yang akan datang.
⇒ Wajib untuk membayar hadyu (unta).

Berkata penulis rahimahullāh’

ومن فاته الوقوف بعرفة تحلل بعمل عمرة وعليه القضاء والهدي

"Barangsiapa yang luput wuqūf di Arafah, maka hendaklah dia menggantikan dengan amal umrah (tahalul dengan umrah) artinya hajinya berubah menjadi umrah dan wajib bagi dia untuk mengganti haji pada tahun depan dan wajib membayar hadyu."

Berkata penulis rahimahullāh:

ومن ترك ركنا لم يحل من إحرامه حتى يأتي به, ومن ترك واجبا لزمه الدم, ومن ترك سنة لم يلزمه بتركها شيء

"Barangsiapa yang meninggalkan satu rukun maka tidak sah ibadah tersebut sampai dia bisa melaksanakan rukun tadi. Dan barangsiapa yang meninggalkan kewajiban di dalam haji maka wajib untuk membayar dam. Barangsiapa meninggalkan sunnah maka tidak ada konsekuensi tatkala meninggalkan kewajiban tersebut."

Karena sunnah adalah pelengkap, maka semakin banyak seseorang melakukan ibadah sunnah maka semakin lengkap, paling sempurna, tetapi apa bila ditinggalkan maka tidak berpengaruh pada ibadah tersebut.

Adapun kewajiban apabila ditinggalkan maka wajib untuk membayar dam dan rukun apabila ditinggalkan maka ibadah tersebut tidak sah sampai orang tersebut mampu untuk mendatangkan amaliyah-amaliyah atau apa yang dilakukan dalam rukun tersebut artinya dia bisa mendatangkan rukun.

Misalnya seorang belum melaksanakan thawāf ifadhah kemudian dia sudah keluar dari Mekkah maka dia wajib kembali untuk melaksanakan thawāf ifadhah, agar ibadah hajinya sempurna atau sah.

Namun apabila rukun tersebut tidak mampu untuk didatangkan artinya lupa atau karena meninggalkan dan tidak mampu untuk menghadirkan maka ibadahnya tidak sah.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan bermanfaat.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 29 Jumādā atsTsānī 1440 H / 06 Maret 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | KITĀBUSH HAJI (كتاب الحاج)
🔊 Kajian 116 | Larangan-Larangan Di Dalam Ihrām
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H116
〰〰〰〰〰〰〰

No comments:

Post a Comment