Tuesday, February 12, 2019

Halaqah 014 | Beriman Kepada Allāh ‘azza wa jalla (Bagian 02)

BERIMAN KEPADA ALLĀH AZZA WA JALLA (BAGIAN 2)
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Sahabat BiAS sekalian, saudara muslimin dan muslimat.

Alhamdulilāh, kita telah sampai pada halaqah yang ke-14, kita melanjutkan rangkaian silsilah dari kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية) , karangan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh (Ahmad ibn Abdil Halīm Al Harrānī)

Pertemuan sebelumnya kita telah membahas perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengenai hal-hal yang termasuk mengimani sifat-sifat Allāh Azza wa Jalla.

Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menegaskan ada 6 poin. Dan pertemuan kemarin kita telah membahas dua poin dasar atau rujukan dalam mengimani sifat Allāh adalah Al Qurān dan hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

√ Kita mengimani apa yang Allāh sampaikan tentang diri-Nya dan kita mengimani apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sampaikan tentang Allāh Subhānahu wa Ta'āla.



√ Dalam mengimani ini, kita imani tanpa adanya tahrīf yaitu menyelewengkan makna dari dalīl-dalīl yang menyebutkan sifat Allāh Azza wa Jalla.

Seperti contoh yang lalu bila ada di dalam hadīts atau Al Qurān yang menyatakan Allāh memiliki sifat rahmat maka kita tidak boleh menyelewengkan maknanya. Rahmat di sini maksudnya adalah Allāh menginginkan (memberikan) kenikmatan.

Atau Allāh memiliki sifat istiwā' di atas Arsy maka tidak boleh diselewengkan maknanya sebagai "menguasai".

Jadi Allāh benar-benar di atas Arsy. Bagaimana bentuknya nanti, in syā Allāh, akan kita bahas pada poin berikutnya.

⑶ Perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:

ولا تعطيل

“Juga tidak ta'thīl (meniadakan sifat Allāh) atau menegasikan.”

Jadi ketika mendengar:

ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

"Allāh Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

Jika ada yang mengatakan, "Tidak mungkin Allāh memiliki sifat rahmat," atau, "Saya tidak tahu makna rahmat itu apa," dan lain sebagainya maka inilah ta'thīl.

Sebenarnya ta'thīl ini adalah fase pertama dari tahrīf. Jadi, jika orang mentahrīf ada dua fase.

Misalnya dia mendengar bahwa Allāh beristiwā' di atas Arsy, ketika dia mendengar ini dia melakukan ta'thīl dulu (meniadakan makna yang benar). Misalnya dengan mengatakan, "Ah, tidak mungkin Allāh beristiwā."

Kemudian fase yang kedua adalah tahrīf, yaitu meniadakan kemudian mengganti dengan makna lain, dia menyelewengkan maknanya misalnya dengan mengatakan, "Allāh tidak memiliki sifat istiwā' tetapi memiliki sifat menguasai.”

Jadi, (menurutnya) Istiwā' di atas Arsy di sini artinya menguasai Arsy bukan Allāh di atas Arsy.

Tidak mungkin Allāh menjelaskan dalam Al Qurān karena Allāh lebih tahu sifat diri-Nya. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendapatkan wahyu dari Allāh untuk menyampaikan sifat Allāh sedangkan maknanya tidak diketahui oleh orang, padahal Al Qurān dan As Sunnah adalah pedoman untuk kita semua (umat muslim).

Para shahābat pun tidak menanyakan atau menafī'kan hal tersebut, mereka semua mengimani.

(4) Poin selanjutnya adalah:

من غير تكييف ولا تمثيل

Dan mengimani juga tanpa takyīf (menanyakan teknisnya bagaimana) dan juga dalam mengimani sifat tersebut tanpa tamtsīl (menyamakan Allāh dengan makhluk-Nya).

In syā Allāh  akan kita sampaikan pada halaqah berikutnya.

Ini saja yang bisa saya sampaikan.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

____


🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 07 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 12 Februari 2019 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 014 | Beriman Kepada Allāh ‘azza wa jalla (Bagian 02)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-RKI-AqidahWasithiyyah-H014
〰〰〰〰〰〰〰

No comments:

Post a Comment