Friday, December 1, 2017

Hadits Pertama (Bagian 04 dari 05)

HADĪTS PERTAMA (BAGIAN 4 DARI 5)
klik link audio

 بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم  صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه


• KAEDAH YANG KETIGA | Tasyrikun niyyah, yaitu menggabungkan beberapa niat dalam satu amalan.

Yang pertama yang harus kita ketahui bahwasanya jika seorang melakukan ibadah yang niatnya di gabungkan antara ingin mendapatkan pahala dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan ingin mendapatkan pujian, maka tidak ada nilainya.

Jadi amalan shālih tidak menerima penggabungan dengan riya', meskipun riyā'nya cuma 10%. Riyā' 10% ini akan menggugurkan amalan, terutama niat awal melakukan perbuatan.

Misalnya:



Seseorang ingin 'umrah, niatnya ingin mendapatkan ampunan Allāh, sekalian agar orang-orang tahu bahwasanya dia adalah orang yang suka 'umrah. Maka niat yang sekalian ini tidak diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla (sebagaimana kita jelaskan kemarin).

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman dalam hadīts qudsi:

ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻏْﻨَﻰ ﺍﻟﺸُّﺮَﻛَﺎﺀِ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ, ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﺃَﺷْﺮَﻙَ ﻓِﻴﻪِ ﻣَﻌِﻲ ﻏَﻴْﺮِﻱ ﺗَﺮَﻛْﺘُﻪُ ﻭَﺷِﺮْﻛَﻪُ

"Aku adalah dzat yang paling tidak butuh kesyirikan. Barangsiapa yang melakukan amalan shālih kemudian dia mengambil syarikat selain-Ku maka Aku akan tinggalkan dia dan kesyirikannya."

"Aku tidak butuh," tidak diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla wa Ta'ala.

Dalam satu hadīts:

 قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَرَأَيْتَ رَجُلاً غَزَا يَلْتَمِسُ الأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " لاَ شَىْءً لَهُ "

Ada seorang mendatangi Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan dia berkata:

"Yā Rasūlullāh, saya melihat seseorang, dia berperang niatnya mendapatkan pahala dan juga niatnya untuk dikenang (untuk disebut-sebut oleh orang), apa yang dia dapatkan?"

Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

"Tidak ada apa-apa bagi dia."

(Hadīts hasan riwayat An Nasā'i nomor 3140)

⇒ Jadi niat itu tidak menerima syarikat riyā'.

Berbeda halnya jika seorang beribadah karena Allāh dan mencari dunia (mencari ganjaran dunia) dan ganjaran dunia tersebut bukan riya'. Ini dibedakan oleh para ulamā.

Yang pertama tadi mengharapkan pujian dan sanjungan manusia. Ini berarti menyamakan Allāh dengan manusia tersebut.

Yang kedua mengharapkan ganjaran Allāh dengan duniawi.

Contohnya:

Seorang berjihād karena Allāh dan dia juga ingin mendapat ghanīmah, bukan karena ingin dipuji, bukan karena ingin disanjung tetapi dia berperang karena ingin mendapat ghanīmah.

Bagaimana nasib orang ini?

Para ulamā menyatakan selama yang digabungkan niatnya perkara dunia bukan riyā', bukan sum'ah, maka tidak akan menggugurkan pahala namun mengurangi pahala.

Oleh karenanya dalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan:

إن الغزاة إذا غنموا غنيمة تعجلوا ثلثي أجرهم

"Para mujāhidin jika mereka mengambil ghanīmah maka mereka telah mengambil 2/3 pahalanya.”

Dengan lafazh lain:

مَا مِنْ غَازِيَةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُصِيبُونَ الْغَنِيمَةَ إِلَّا تَعَجَّلُوا ثُلُثَيْ أَجْرِهِمْ مِنْ الْآخِرَةِ

“Tidaklah seseorang berperang di jalan Allah kemudian ia mengambil bagiannya dari harta ghanimah, melainkan sepertiga pahalanya telah terkurangi di akhirat kelak.”

(HR Muslim nomor 3528, versi Syarh Shahih Muslim nomor 1906)

Ini dibawakan kepada orang yg berjihād yang dia mencari pahala akhirat dan juga mencari pahala dunia. Maka pahala akhiratnya tidak hilang, akan tetapi berkurang.

Berbeda dengan riya'.

Kalau riya' tidak menerima, tidak bisa tercampur. Sekali tercampur riya', maka amalanya tertolak.

Kalau niatnya tulus, benar-benar untuk dunia maka dia juga tidak mendapatkan apa-apa.

Contohnya:

Seorang berjihād bukan karena meninggikan kalimat Allāh tetapi benar-benar mencari ghanīmah, misalnya karena dia sedang banyak hutang. Cara membayar hutangnya dengan mencari ghanīmah sehingga dia berjihād. Jihād seperti ini tidak mendapatkan pahala.

Dalam hadīts:

مَنْ غَزَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَمْ يَنْوِ إِلاَّ عِقَالاً فَلَهُ مَا نَوَى

"Barangsiapa yang berjihād dijalan Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan dia tidak menghendaki kecuali dari ghanīmah maka dia tidak mendapatkan apa-apa, kecuali apa yang dia niatkan."

(HR Nasāi nomor 3138)

Dari sini kita lihat bahwasannya kalau niatnya tulus buat dunia, dia tidak akan mendapatkan pahala di akhirat. Tetapi kalau niatnya gabungan antara ingin pahala surga sekalian ingin mendapatkan ghanīmah maka pahala surganya berkurang.

Berbeda dengan seorang yang niatnya karena akhirat, murni karena akhirat. Dia berjihād benar-benar karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Setelah. Dia menang diberi ghanīmah, maka ini tidak jadi masalah karena niatnya benar-benar untuk Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Seseorang misalnya jadi muadzin. Dia benar-benar ingin membangunkan orang dari tidurnya untuk bisa shalāt Shubuh. Kemudian ada yang datang saudagar kaya yang memberi uang sebagai ucapan terima kasih karena terbangun karena ādzānnya muadzin.

Maka jika muadzin tersebut menerima uang tersebut tidak jadi masalah karena niat dia (muadzin) ādzān bukan karena uang tersebut dan dia mendapatkan pahala full.

Demikian juga (misalnya) seorang da'i berdakwah dengan niat untuk mencari uang maka dia tidak akan mendapat apa-apa, tetapi jika niatnya karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan uang bukan tujuan utama (niat dia berdakwah) maka dia akan mendapatkan pahala sempurna.

Dan saya ingatkan kembali, celaka orang yang kemudian berdakwah kemudian memasang tarif dan tarifnya tidak masuk akal. Jika seandainya ilmu yang dia berikan ilmu yang benar (alhamdulillāh), namun jika ilmu yang dia berikan (disampaikan) tidak jelas, tidak ada fiqih, hadīts, ayat, hanya menangis dan ketawa-ketawa, kemudian dapat uang puluhan juta maka ini harām.

Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam  bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

"Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya ilmu tersebut untuk meraih keridhāan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, ternyata dia mempelajari ilmu tersebut hanya untuk mendapatkan secercah dunia maka dia tidak akan mencium bau surga."

(Hadīts riwayat Ibnu Mājah nomor 252)

Berbeda halnya dengan seorang mencari dunia karena dianjurkan oleh syari'at. Dunia bukan yang dituju, tetapi, secara umum, karena dalam beberapa ayat atau hadīts-hadīts ada anjuran-anjuran meraih kebahagiaan dunia dengan ketakwaan.

Contohnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا *  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

"Barangsiapa yang bertakwa maka Allāh akan berikan dia jalan keluar. Dan Allāh akan memberikan dia rezeki dari arah yang dia tidak sangka-sangka."

(QS. Ath Thalāq : 2-3)

Apabila ada orang miskin kemudian dia membaca ayat ini, dan dia memiliki hutang yang banyak, kemudian orang tersebut bertakwa dan yakin Allāh akan memberikan solusi.

Maka orang seperti ini tidak mengapa, tidak mengurangi pahalanya sama sekali. Karena pahala yang Allāh janjikan adalah kebahagiaan dunia.

Dan orang yang berimān akan diberi kebahagiaan dan jalan keluar. Bukan tujuan tertentu seperti seorang jihād mencari ghanīmah (ini sudah ditentukan).

Adapun ini sesuatu yang umum, bertakwa diberi kemudahaan rejeki oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Bukan rejeki tertentu tapi secara umum dan ini tidak mengurangi pahalanya sama sekali.

Contohnya juga seperti Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barangsiapa yang suka dilapangkan rejekinya dan ingin dipanjangkan umurnya maka dia hendaknya menyambung silaturahmi."

(Hadīts riwayat Bukhāri Muslim)

Seorang yang menyambung silaturahmi karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla, namun terbetik dalam hatinya sekalian agar rezekinya dilapangkan.

Ini tidak jadi masalah karena syari'at yang menganjurkan akan hal ini, syari'at yang memotivasi, sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam di atas.

Maka diapun berbakti kepada orang tuanya, dia berikan hadiah kepada orang tuanya, dia bantu saudaranya, dengan harapan Allāh akan memberi dia rezeki di akhirat dan juga di dunia, ini tidak jadi masalah karena syari'at yang memotivasi hal tersebut.

Meskipun ada beberapa pendapat di antara para ulamā tentang hadīts ini, apa makna dilapangkan rezeki?

Pendapat pertama | Bahwasanya rezekinya benar-benar ditambah oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan buktinya banyak.

Orang yang berbakti kepada ibunya, Allāh berikan dia kesuksesan dunia.

Orang yang perhatian terhadap kakak-adiknya yang miskin, dia infāq kepada mereka, Allāh akan berikan kelapangan rezeki kepadanya.

Jadi dikatakan makna hadīts ini zhahirnya Allāh tambahkan rezeki.

Pendapat yang kedua | Artinya Allāh lapangkan rezekinya, dia rezekinya tidak bertambah tetapi berkah. Allāh berikan keberkahan.

Meskipun rezekinya sedikit, tapi anaknya menjadi anak yang shālih dan rezekinya tersebut sempat dia infāqkan untuk masjid atau dakwah (misalnya), ada yang dia sumbangkan.

Berbeda dengan orang yang rezekinya banyak tetapi tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat, misalnya untuk menyumbang masjid atau yang lainnya melainkan rezekinya digunakan untuk foya-foya. Misalnya untuk jalan-jalan, seperti ini tidak berkah.

Oleh karenanya pendapat kedua menyatakan bahwasanya hartanya tidak ditambah oleh Allāh tetapi berkah di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikian juga masalah umur. Ada juga yang mengatakan orang yang suka menyambung silaturahmi ditambah umurnya. Benar-benar ditambah umurnya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, yang seharusnya dia meninggal pada umur 50 tahun Allāh tambah jadi 70 tahun, karena dia suka menyambung silaturahmi.

Diantaranya dia kena penyakit gula atau penyakit jantung, Allāh sembuhkan penyakitnya. Orang seharusnya celaka ditabrak truk pada waktu berumur 55 tahun tapi selamat dengan kehendak Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena silaturahmi yang dia sambung.

Dia bersafar untuk mengunjungi keluarganya, dia bersafar untuk mengunjungi ibu ayahnya, tiap hari sisihkan waktu untuk menelpon ibunya, menyenangkan hati ibunya, ini semua bentuk silaturahmi, sehingga Allāh benar-benar tambah umurnya.

Pendapat yang kedua, umurnya tidak bertambah tetapi berkah, benar-benar banyak waktu yang dia gunakan untuk beribadah.

Ada orang umurnya 60 tahun, tetapi sibuk terus cari uang. Waktu untuk ibadah tidak ada, shalāt pun ditunda atau kadang-kadang shalāt dia tinggalkan.

Harta dia mengatur kehidupan beribadah dia. Kapan waktu dia bisa shalat maka shalatlah dia, kalau tidak bisa maka tidak perlu, yang penting dagangannya laku.

Tidak berkah karena dia tidak menyambung silaturahmi.

Adapun orang-orang yang umurnya berkah, meskipun umurnya sedikit tetapi ibadah yang dilakukan sangat banyak.

Contohnya seperti Al Imām An Nawawi rahimahullāh yang meninggal di usia 45 tahun, masih sangat muda. Tetapi lihat jasa yang beliau tinggalkan, lihat bagaimana buku-buku yang beliau tinggalkan, yang sampai sekarang kita merasakan manfaatnya.

Oleh karenanya jika seseorang niatnya seperti ini, perkara yang dimotivasi oleh syari'at maka tidak mengurangi pahala akhiratnya sama sekali.

Demikian juga ada orang yang bangun malam agar dia lulus ujian. Ini syirik atau bukan?

Ini Ini sama dengan orang yang bangun malam kemudian berdo'a kepada Allāh agar hutangnya dilunasi. Ini bukan syirik!

Ini justru ini tauhīd, karena dia benar-benar bertawakkal kepada Allāh, minta pertolongan kepada Allāh. Kalau dia tidak boleh seperti itu, lalu dia minta tolong sama siapa?

Dia shalāt malam niatnya bukan sekedar itu, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allāh karena dia menghadapi masalah, maka dengan amalan tersebut dia bertawasul agar Allāh mengabulkan do'anya. Dan ini dilakukan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Disebutkan bahwasanya:

 أن الرسول صلى الله عليه وسلم كان إذا حزبه أمر فزع إلى الصلاة

“Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kalau menghadapi sesuatu yang menggelisahkan beliau maka beliau segera shalāt.”

Kata Allah:

اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ....

"Jadikanlah sabar dan shalāt sebagai penolongmu."

(QS Al Baqarah: 153)

Tatkala seseorang shalāt malam karena gelisah disebabkan esok harinya dia akan ujian maka tidak masalah. Tetapi bila setelah hajatnya (ujian) selesai dia tidak shalāt malam lagi, ini salah.

Bila seseorang shalāt malam bukan berarti dia salah, dia shalāt malam karena dia tahu bahwasanya hanya Allāh yang bisa menyelamatkan dia, sehingga dia bertawassul dengan amalan shālihnya agar do'anya dikabulkan.

Sebagaimana tiga orang yang masuk dalam gua, yang kemudian tertutup pintu gua dengan batu yang besar, kemudian yang satu orang mengatakan:

"Yā Allāh saya berbakti kepada orangtua saya, kalau saya ikhlās bukakan pintu gua ini."

Maka Allāh bukakan pintu gua itu.

Kemudian yang satunya mengatakan:

"Yā Allāh, saya hampir terjerumus dalam zinah dan kesempatan zinah sudah terbuka dihadapan saya, kemudian saya tinggalkan wanita tersebut, saya berikan harta kepadanya (emas) kalau saya lakukan karena engkau yā Allāh maka tolong bukakan pintu gua ini untukku."

Orang-orang ini mencari dunia atau tidak ?

Orang-orang itu ingin mencari ganjaran dunia yaitu agar pintu gua terbuka. Ini tidak mengapa karena orang-orang ini mintanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Orang yang shalātnya (ibadahnya) ikhlās karena Allāh kemudian dia bertawassul kepada Allāh maka ini tidak masalah.

Demikian saja yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, in Syā Allāh besok kita lanjutkan biidznillāh Ta'āla.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-------------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 13 Rabi’ul Awwal 1439 H / 01 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Hadits Arba’in Nawawī
🔊 Hadits Pertama (Bagian 04 dari 05)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FA-HaditsArbainNawawi-0111
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment