Tuesday, September 6, 2016

Materi Tematik | HAJI (Bagian 14)

Materi Tematik | HAJI (Bagian 14)
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Kita masuk pada kewajiban yang berikutnya yaitu yang ke-5

⑸ Melempar Jamratul 'Aqabah

Jamrah 'aqabah adalah jamrah yang satu-satunya dilempar pada tanggal 10 Dzulhijjah (hari Nahr) dan merupakan jamrah terakhir yang di lempar.

⇛ Adapun jamrah al ula (shughra) dan al wustha, pada tangal 10 Dzulhijjah tidak di lempar.

Waktu melempar jamrah 'aqabah boleh sebelum zawal atau sesudah zawal (tidak masalah), maksud zawal di sini adalah waktu dhuhur.

Adapun ketiga jamrah tersebut dilempar pada hari-hari tasyrik.


√ Pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah bagi yang mengambil nafar awal.
√ Pada tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah bagi yang mengambil nafar tsani.

⇛ Untuk tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah, waktu melempar jamrah harus setelah waktu zawal (masuk waktu shalāt dhuhur).

Sebagaimana hadīts dari Jābir radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata:

رَمَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melempar jamratul aqabah pada hari nahr pada tanggal 10 Dzulhijjah diwaktu dhuha, adapun setelah itu (yaitu) tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melempar jumrah  tatkala masuk waktu shalāt dhuhur."

(HR Muslim nomor 2290 versi Syarh Muslim nomor 1299)

Demikian juga dari hadīts Ibnu Abbās radhiyallāhu Ta'āla 'anhumma, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنَى فَيَقُوْلُ لاَحَرَجَ فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ اِذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ فَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَاأَمْسَيْتُ فَقَالَ لاَ حَرَجَ

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya pada tanggal 10 Dzulhijjah di Mina, setiap ditanya beliau mengatakan:

_"Tidak mengapa," (atinya: Silahkan dikerjakan, tidak mengapa)."

Maka ada seorang bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan dia berkata:

"Ya Rasūlullāh, aku ini mencukur (menggundul) rambutku sebelum aku menyembelih."

Kata Rasūlullāh:

"Sembelih saja, tidak jadi masalah, aku melempar setelah masuk waktu sore."

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

"Tidak mengapa."

(HR Bukhāri nomor 1620 versi Fathul Bari nomor 1725)

Ini dalīl bahwasanya diperbolehkan melempar setelah zawal karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,"Aku melempar tatkala masuk sore."

⇛ Waktu masa' itu adalah waktu antara sore dan malam.

Kemudian juga perkataan Ibnu umar Radhiyallāhu Ta'āla 'anhumma beliau berkata dalam shahīh Bukhāri:

كُنَّا نَتَحَيَّنُ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ رَمَيْنَا

"Kami dahulu menanti-nanti jika telah masuk dhuhur dan kamipun melempar."

⇛ Jadi mereka tidak melempar jumrah pada tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah (saat hari tasyrik) sebelum zawal, akan tetapi mereka melempar setelah zawal.

Saya ingatkan hari-hari dalam haji, yaitu:

√ Tanggal 08 Dzulhijjah namanya hari Tarwiyah.
√ Tanggal 09 Dzulhijjah namanya hari Arafah.
√ Tanggal 10 Dzulhijjah namanya hari Nahr.
√ Tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah namanya hari-hari Tasyrik.

Pada waktu hari tasyrik mereka tidak melempar jamrah sebelum zawal (dhuhur) padahal Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berhaji bersama para shahābat yang berjumlah sekitar 100.000.

Kita tahu yang berhaji bersama Nabi ada orang tua, anak-anak, orang sakit (misalnya), namun selama 3 (tiga), hari yaitu 11,12 dan 13 Dzulhijjah, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah melempar jamrah kecuali setelah dhuhur.

Kata Ā'isyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا

"Tidaklah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila di minta untuk memilih satu diantara dua perkara kecuali Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam akan memilih perkara yang paling mudah, selama bukan merupakan dosa."

(HR Muskim nimor 4294 versi Syarh Muslim nomor 2327)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam suka mengikuti  perkara yang mudah.

Kalau melempar diwaktu pagi hari, sebelum zawal (dhuhur) pada tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah, itu boleh tentunya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pada salah satu hari, beliau akan melempar dipagi hari (seperti jamratul 'aqabah beliau melempar dipagi hari).

Akan tetapi tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah ternyata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam selalu melempar jumrah setelah dhuhur.

Bahkan disebutkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalāt dhuhur dulu baru melempar jamrah,  berarti waktu itu di tunggu-tunggu.

Jadi begitu masuk waktu dhuhur Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam  shalāt dhuhur dulu baru beliau melempar jamrah.

Kalau ternyata boleh sebelum dhuhur Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pasti pernah mecontohkan walaupun sekali. Atau, apabila beliau tidak mencontohkan, beliau akan mengizinkan orang lain (para wanita ) untuk melempar jamrah di pagi hari, tetapi beliau tidak melakukan.

Ini semakin menekankan pendapat jumhūr ulamā bahwasanya mayoritas ulamā berpendapat bahwasanya melempar tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah sebelum zawal (dhuhur) adalah tidak sah dan harus diulang.

Kemudian juga dalam hadīts 'Ashim bin Adi radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَخَّصَ لِلرُّعَاةِ فِي الْبَيْتُوتَةِ يَرْمُونَ يَوْمَ النَّحْرِ وَالْيَوْمَيْنِ اللَّذَيْنِ بَعْدَهُ يَجْمَعُونَهُمَا فِي أَحَدِهِمَا

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi keringanan kepada para pengembala unta untuk tidak mabit di Mina, kemudian mereka melempar pada hari nahr (jumrah 'Aqabah) kemudian dua hari berikutnya mereka mengambil nafar awal (tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah) maka kata 'Ashim bin Adi sang perawi, "Mereka menggabungkan dua hari tersebut melempar dalam satu hari saja (ini di bolehkan)."

(HR Nasā'i nomor 3019 versi Maktabtu Al Ma'arif Riyadh nomor 3069)

Misalnya :

↝Dia melempar pada tanggal 12 Dzulhijjah saja (lemparan untuk tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah dijadikan satu pada tanggal 12).

Ini menunjukan bahwasanya tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi keringanan kepada para penggembala untuk menggabungkan (di jama') tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah dikerjakan dalam satu hari maka kewajiban tersebut tidak gugur.

Jadi harus dikerjakan, dan ini menunjukan akan wajibnya untuk melempar jamratul 'aqabah dan jamrah lainnya pada hari-hari tasyrik.

Oleh karenanya, barangsiapa yang tidak melempar jamrah maka dia telah meninggalkan kewajibannya dan dia harus membayar dam.

Wallāhu Ta'āla A'lam bish shawab.

⑹ Mabit di Mina

Mabit di Mina pada malam-malam hari Tasyrik (malam 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

Adapun bagi orang yang mengambil nafar awal hanya bermalam pada malam 11 dan malam 12 saja, sedangkan yang mengambil nafar tsani ditambah bermalam pada malam 13 Dzulhijjah.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ

"Ingatlah Allāh pada hari-hari yang terbilang, barangsiapa yang mengambil nafar awal dalam dua hari, maka tidak mengapa. Dan barangsiapa yang mengambil nafar tsani (tinggal di Mina sampai tanggal 13 Dzulhijjah) maka tidak ada dosa baginya."

(QS Al Baqarah : 203)

Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengambil nafar tsani sehingga beliau mabit di Mina pada malam 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan pada hari ke-13 beliau melempar 3 jamrat (shugra, wustha dan kubra) setelah masuk waktu dhuhur, baru kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pergi meninggalkan Mina.

Kemudian juga hadīts lain yang menunjukan mabit di Mina hukumnya wajib adalah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi keringanan kepada as suqat (orang-orang yang bertugas mengambil air untuk dibawa ke jama'ah haji) dan juga kepada ar ru'at (para penggembala kambing, unta para jama'ah haji) untuk tidak mabit di Mina pada malam-malam hari Tasyrik.

Dan ini menunjukan tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan keringan kepada mereka karena mereka punya kesibukan yang berkaitan dengan kemaslahatan jama'ah.

Bagi orang-orang yang tidak memiliki kesibukan maka mereka wajib mabit di Mina.

Demikian juga dalam hadīts Ibnu Abbās radhiyallāhu Ta'āla 'anhumma beliau berkata:


أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِي مِنًى مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ فَأَذِنَ لَهُ


"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi izin kepada Ibnu Abbās karena beliau meminta izin untuk tidak mabit di Mina tetapi mabit di Mekkah (di luar Mina) karena dalam rangka untuk mengurus pengairan, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengizinkan Ibnu Abbās untuk mabit di kota (Mekkah)."

(HR Bukhāri nomor 1527 versi Fathul Bari nomor 1634)

Ini semua menunjukan bahwasanya mabit di Mina hukumnya wajib.

Barangsiapa yang meninggalkannya tanpa udzur maka dia harus membayar dam.

Wallāhu Ta'āla A'lam bish Shawab .
____

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 04 Dzulhijjah 1437 H / 06 September 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📔 Materi Tematik | HAJI (Bagian 14)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Haji-14
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment