Tuesday, September 20, 2016

Materi Tematik | HAJI (Bagian 20)

Materi Tematik | HAJI (Bagian 20)
klik link audio

 بسم اللّه الرحمن الرحيم

Ikhwāniy Fīllah,

Kita kembali masuk kepermasalahan miqat.

Sebagian fatwa ulamā ditanah air kita menyatakan bahwasanya miqat di Jeddah adalah sah karena berdalīl dengan perkataan para ulamā bahwasanya miqat itu ijmā' ulamā.

Mereka berdalīl:

"Apabila sudah marhatain (2 marhalah) yaitu sekitar 80 km dari jarak Mekkah maka miqatnya sah."

⇒ Marhalah itu istilah fiqih yang artinya jarak safar.

Perlu kita ingatkan, bahwasanya perkataan para ulamā tatkala mengatakan, "Miqat sah dengan jarak 2 marhalah," adalah bagi orang yang tidak melewati miqat sama sekali.


Dalam hal ini (bila kita lihat di peta) orang yang datang dari arah laut lalu masuk kearah Jeddah, dia tidak melewati miqat dan tempat yang sejajar dengan miqat.

Maka untuk yang itu di bolehkan, sesuai fatwa dari Syaikh bin Baz rahimahullāhu Ta'āla.

Adapun bila dia melewati miqat yang lain, maka sepakat ulamā tidak boleh berihram kecuali melewati miqat atau tempat yang sejajar dengan miqat.

Orang-orang Indonesia kebanyakan masuk (pesawatnya) melewati  Yalamlam atau Qarn Al Manazil, maka seharusnya dia (para jama'ah haji/umrah) mengambil miqat sejajar dengan Yalamlam atau Qarn Al Manazil karena diperkirakan jaraknya sekitar 90 Km dari kota Mekkah.

Kesalahan kedua, ketika sebagian ulamā yang menyatakan bolehnya miqat di Jeddah, mereka menyatakan bahwa yang dimaksud sejajar itu adalah menarik garis lurus antara satu titik miqat kemiqat lainnya (seperti yang tertera dipeta ada garis lurus yang ditarik dari Dzulhulaifah menuju Al Juhfah, kemudian Dzulhulaifah menuju Dzātu 'Irq, dari Dzātu 'Irq menuju Qarn al Manazil, dari Qarn al Manazil menuju Yalamlam).

Pendapat seperti ini keliru karena makna sejajar bukan demikian.

Coba kita perhatikan Dzātu 'Irq!

Dzātu 'Irq adalah miqat yang dipasang oleh 'Umar bin Khathab radhiyallāhu Ta'āla 'anhu bagi penduduk Iraq,  karena penduduk Iraq tidak ingin melewati Qarn Al Manazil, maka 'Umar membuat miqat untuk mereka yang sejajar dengan Qarn Al Manazil.

Seandainya cara mengetahui maksud sejajar dengan miqat adalah dengan cara menarik garis lurus dari satu titik miqat ke titik miqat yang lainnya, maka tatkala kita tarik garis lurus dari Dzulhulaifah menuju Qarn Al Manazil makan kita tahu bahwa Dzātu 'Irq jaraknya lebih.

Tapi ternyata bukan demikian caranya.

Coba kita bayangkan, jika kita tarik garis lurus dari Dzulhulaifah ke Qarn Al Manazil maka jaraknya tentu lebih dekat ke Mekkah daripada Dzātu 'Irq.

Tapi ternyata cara 'Umar menentukan miqat bukan dengan menarik garis lurus dari satu titik ke titik yang lainnya melainkan dengan sejajar.

⇒ Sejajar maksudnya, jarak dari Mekkah ke Qarn Al Manazil berapa km? Maka demikianlah (sejauh itulah) jarak Dzātu 'Irq ke Mekkah.

Misalnya, bila ada seseorang melewati (masuk) ke kota Mekkah dari Yalamlam tetapi dia tidak melewati Yalamlam secara pasti, dia melewati sebelah kanannya kira-kira 100 Km.

Maka, tentunya titik yang sejajar itu jaraknya harus sama dengan Mekkah (maksudnya) sama dengan jarak Yalamlam menuju Mekkah. Itu namanya sejajar dengan Yalamlam (sekitar 90 km).

⇒ Inilah yang dinamakan sejajar dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Sebagian orang yang menarik garis lurus dari satu titik ke titik yang lainnya yang akhirnya menjadikan Jeddah di luar miqat.

Misalnya seorang menarik garis lurus dari Al Juhfah menuju Yalamlam  maka Jeddah akan berada di luar miqat dan ini adalah kesalahan karena bukan begitu cara mengartikan sejajar untuk menentukan miqat.

Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Perkara berikutnya berkaitan dengan miqat.

Kita tahu bahwasanya Jeddah bukanlah miqat bagi jama'ah haji Indonesia.

Jama'ah haji Indonesia biasanya melalui udara maka hendaknya para jama'ah haji tersebut tatkala miqat (miqat di atas udara) hendaknya berhati-hati, jangan sampai terlewat zona miqatnya.

Untuk mengetahui zona miqat biasanya ada pengumuman dari petugas di pesawat. Petugas tersebut akan memberi tahu (misalnya) setengah jam lagi kita akan melewati zona miqat, atau bila sudah mendekat akan dikatakan lagi 15 menit lagi kita akan melewati zona miqat dan sebagainya.

Maka hendaknya para jama'ah sudah bersiap (berihram) lima menit atau sepuluh  menit sebelum melewati miqat, karena pesawat bergerak sangat cepat.

Dan kita tahu jarak miqat sangat terbatas. Setengah detik saja dia terlambat maka dia sudah akan melewati daerah miqat.

Oleh karenanya dia boleh berihram sebelum lewat miqat meskipun jaraknya 5 atau 10 menit tidak masalah.

Hukum asal berihram sebelum miqat adalah makruh.

Harusnya seseorang bermiqat, berihram, ditempat miqatnya (tepat dititiknya).

Seperti penduduk Madīnah kalau bermiqat, berihram, hendaknya di Dzulhulaifah (Bir 'Ali), bukan di masjid Nabawi atau hotel.

Karena hotel atau masjid Nabawi letaknya sebelum miqat. Sehingga bila dia berihram dari hotel atau Madīnah maka hukumnya makruh.

Tetapi kalau kita lihat kondisi di pesawat (pesawat berjalan begitu cepat) sebagaimana kita ketahui bahwa miqat di pesawat tidak lah persis di atas Yalamlam tetapi yang sejajar dengan Yalamlam dan ini diketahui oleh pilot pesawat (mereka sudah tahu jarak-jaraknya).

Orang yang berihram boleh berihram sebelum bermiqat meskipun jarak 10 atau 30 menit tidak jadi masalah, hukum asalnya makruh namun kita tahu dalam kaedah ushul fiqih makruh tatkala dibutuhkan dalam kondisi hajjah maka makruh tadi hukumnya menjadi hilang.

Maka tidak mengapa seorang karena hati-hati dia berihram sebelum miqat daripada terlambat tatkala melewati zona masuk miqat.

Wallāhu Ta'āla A'lam bish Sshawab.
 ___________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 18 Dzulhijjah 1437 H / 20 September 2016 M
👤 Ustadz Firanda Andirja, MA
📔 Materi Tematik | HAJI (Bagian 20)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Haji-20
-----------------------------------

No comments:

Post a Comment