Friday, May 25, 2018

Materi Tematik | Risalah Puasa Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam Bagian 04

RISALAH PUASA NABI SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM, BAGIAN 04
klik link audio

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām yang berbahagia, ini adalah pertemuan kita yang keempat, kita masih membahas kitāb "Risalah puasa Ramadhān".

Kita masuk pada poin berikutnya;


▪Siapa yang wajib berpuasa Ramadhān

⑴ Puasa Ramadhān diwajibkan kepada setiap muslim, artinya orang-orang yang bukan muslim tidak diwajibkan kepada mereka secara asal.

Jadi seorang muslim akan diterima ibadahnya dan selain muslim tidak diterima, walaupun mereka diperintahkan secara umum.



⑵ Seorang telah mencapai aqil bāligh (mencapai bulugh /taklif/marhalah atau fase taklif).

Dan di sana ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan seorang telah bāligh.

Misalnya;

√ Untuk laki-laki sudah keluar mani atau sudah tumbuh rambut di antara kemaluannya.

√ Untuk wanita, apabila dia sudah hāidh, maka dia terkena taklif (pembebanan syari'at)

Bila seseorang telah mencapai bulugh maka dia wajib untuk melaksanakan syari'at tersebut walaupun di sana ada yang menyebutkan secara umur, akan tetapi yang benar bahwa umur ini bisa menjadi salah satu pendekatan.

Tetapi bila seorang telah hāidh walaupun umurnya dibawah 10 tahun atau 9 tahun maka dia sudah dihitung bāligh.

Begitu juga seorang anak laki-laki walaupun dia berumur 10 tahun akan tetapi sudah keluar air mani atau sudah mimpi basah maka dia sudah dihitung bāligh.

⑶ Muqim

Artinya dia tinggal ditempat tersebut, bukan musāfir karena di sana ada rukhsah (keringanan) bagi musāfir untuk tidak berpuasa.

Orang yang muqim lawan dari musāfir, maka dia wajib untuk melaksanakan ibadah puasa (Ramadhān).

⑷ Qadir (mampu)

Artinya mampu untuk melaksanakan ibadah puasa tersebut, maka orang yang sakit atau orang yang tua renta yang tidak mampu untuk menjalankan puasa, maka tidak wajib bagi mereka untuk mengerjakan ibadah puasa.

⑸ Terbebas dari penghalang (nifās dan hāidh)

Orang yang sedang hāidh atau nifās tidak diwajibkan untuk berpuasa.

• Untuk anak-anak yang dibawah umur bulugh apakah mereka berpuasa atau tidak?

Maka orang tua hendaknya melatih anak-anaknya untuk berpuasa. Sebagaimana hadīts tentang shalāt, anak-anak yang sudah mencapai usia 7 (tujuh) tahun diperintahkan shalāt dan apabila mencapai umur 10 (tahun) maka diperintahkan untuk dipukul apabila dia tidak shalāt (dalam rangka tarbiyah).

Dan anak yang berpuasa tetap mendapatkan pahala, begitu pula kedua orang tuanya mendapat pahala mendidik anak-anak mereka.

Oleh karenanya jangan sia-sia kan keluarga kita. Kita ajarkan mereka, kita didik mereka, dan kita biasakan mereka dalam kebaikan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ.....

"Wahai orang-orang yang berimān! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan....... "

(QS At Tahrīm: 6)

Dengan menjaga keluarga kita dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita berharap agar mereka bisa selamat dunia dan akhirat dan kita telah melaksanakan tangung jawab (mentarbiyyah) anak-anak kita sesuai dengan keridhāan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Apabila seorang kāfir masuk Islām atau seorang anak menjadi bāligh di tengah-tengah bulan Ramadhān (misalnya) di siang hari bulan Ramadhān dia mimpi basah atau di siang hari orang kāfir masuk Islām.

Maka pada saat itu dia wajib menahan diri (dari makan dan minum) sepanjang sisa hari itu, karena mereka telah menjadi orang-orang yang berkewajiban melakukan puasa.

Begitu pula orang gila (hilang akal) ia tidak kena beban taklif, dan jika seseorang kadang-kadang gila (hilang akal) dan kadang-kadang dia sadar, maka dia wajib berpuasa di waktu sadarnya saja.

Begitu pula anak-anak yang mimpi basah disiang hari kemudian dia bangun, maka dia pun sudah menjadi orang yang dibebani oleh syari'at.

▪Musāfir

Musāfir adalah orang yang dalam keadaan bepergian (safar) dia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dia diberikan rukhshah (keringanan).

Namun safar harus memenuhi syarat, di antaranya:

√ Jarak safar, sebagaimana pendapat sebagian ulamā yang mengatakan jarak safar adalah 90 Km.

√ Secara 'Urf (adat/kebiasaan) yang menyatakan bahwa ini sudah termasuk safar.

√ Safar harus melampaui pinggiran kotanya (keluar kota).

√ Safar tidak untuk tujuan maksiat (walau di sini ada khilāf para ulamā) tetapi pendapat jumhur ulamā seorang yang dia sengaja safar untuk tujuan maksiat maka dia tidak mendapatkan rukhshah.

√ Safar tidak boleh dimaksudkan untuk mencari alasan supaya boleh berbuka (tidak puasa) jumhur ulamā tidak membolehkan.

Di antara perkara yang disebutkan disini, bahwa seorang musāfir walaupun safarnya tidak ada masaqah, seperti sekarang (misalnya) safar menggunakan pesawat dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit atau bepergian selalu ada di bawah naungan AC (misalnya), maka rukhshah ini berlaku bagi dia.

Dan barangsiapa berazam (bertekad) untuk bepergian (safar) di bulan Ramadhān, maka ia tidak boleh berniat untuk berbuka (membatalkan puasanya) sebelum ia benar-benar melakukan safarnya, karena bisa jadi rencana bepergiannya (safar)nya batal karena suatu halangan.

Seorang musāfir tidak boleh membatalkan puasanya (berbuka) kecuali setelah dia telah benar-benar meninggalkan (keluar dari kampungnya) dan apabila ia telah terpisah dari bangunan-bangunan yang bersambung dengan kampungnya maka dia boleh berbuka (membatalkan puasanya).

Seorang musāfir apabila berencana pergi kesuatu tempat dan berencana untuk tinggal di sana lebih dari 4 (empat) hari, maka dia wajib untuk berpuasa, sebagaimana pendapat jumhur ulamā, karena dia sekarang menjadi muqim.

Contohnya:

Seseorang akan bertugas di satu kota selama satu bulan untuk pelatihan (misalnya)  maka orang tersebut diperbolehkan berbuka selama safar saja, akan tetapi bila dia sudah tingal di sana maka status orang tersebut adalah muqim maka dia wajib berpuasa.

• Apakah seorang musāfir wajib berbuka?

Apabila di sana ada masaqah (kesulitan) yang luar biasa maka dia wajib berbuka, karena apabila dia tetap berpuasa dia telah bermaksiat kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Namun apabila dalam satu safar dia tidak mengalami kesulitan dan dia ingin tetap  berpuasa, maka tidak mengapa bagi dia.  Begitu pula bila dia ingin berbuka maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadīts-hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam safarnya terkadang beliau berpuasa dan terkadang beliau berbuka.

Beliau berbuka untuk menunjukkan bahwasanya di sini ada rukhshah untuk kaum muslimin.

Kita cukupkan, in syā Allāh kita akan lanjutkan pada pembahasan berikutnya.

Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 09 Ramadhan 1439 H / 25 Mei 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., Lc, M.A.
📔 Materi Tematik | Risalah Puasa Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam Bagian 04
⬇ Download Audio: BiAS-UFz-Tematik-Risalah-Puasa-Nabi-04
----------------------------------

No comments:

Post a Comment